KABARPROGRESIF.COM : Warga asli di sekitar lokalisasi yang mendukung program alih fungsi kawasan Dolly dan Jarak ternyata mendapat intimidasi dari oknum tertentu. Hal tersebut terungkap dalam forum dialog antara Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dengan Walikota Surabaya di balai kota, Jumat (13/6).
Selama ini warga yang pro terhadap rehabilitasi kawasan Dolly lebih memilih diam. Itu dilakukan untuk menghindari konflik horizontal serta gesekan-gesekan dengan pihak yang kontra. Namun, berdasar penuturan sejumlah warga yang juga hadir dalam pertemuan di balai kota, bahwa semakin mendekati tanggal deklarasi yakni pada 18 Juni mendatang, tekanan yang dirasakan pun semakin hebat. Mereka yang menentang program pemkot makin frontal dengan menunjukkan berbagai tindakan yang belakangan kian meresahkan.
Yono, Ketua RT5 RW12 Kelurahan Putat Jaya mengungkapkan rumahnya pernah didatangi puluhan orang. Mereka menuding Yono menggalang dukungan terhadap upaya alih fungsi Dolly. Padahal, sejatinya dia hanya mengajukan permohonan pavingisasi kepada Pemkot Surabaya. “Saya ini sebenarnya netral. Saya menghormati kebijakan pemkot tapi di sisi lain juga tidak pernah menentang mereka yang kontra. Tapi kalau tindakannya sudah meresahkan seperti ini kami (para RT setempat) juga tidak bisa tinggal diam,” tegasnya.
Menurut Yono, banyak warganya yang setuju upaya rehabilitasi oleh pemkot namun tidak berani bersuara karena ketakutan. Apalagi situasi di lokalisasi Dolly dan Jarak kini kian memanas. Dia menambahkan, oknum yang mengintimidasi warga itu kebanyakan justru berasal dari luar wilayah tersebut. “Penduduk asli malah mendukung upaya pemkot agar lingkungan bisa lebih baik,” tutur pria berkumis itu.
Senada dengan Yono, Ketua RT3 RW12, Anton mengatakan, baik para pekerja seks komersial (PSK) maupun mucikari sebagian besar dari luar daerah. Yang benar-benar berasal dari Dolly dan Jarak hanya sekitar 5 persen.
Dikatakan Anton, adapun alasan dia setuju terhadap upaya alih fungsi Dolly adalah karena ingin mendapatkan lingkungan yang lebih baik bagi keluarganya. Pasalnya, selama hidup dan bermukim di sana, dia merasakan ada stigma yang buruk yang melekat pada dirinya dan keluarga. “Ketika saya menjelaskan alamat rumah saya kepada teman dan kolega, anggapan mereka sudah buruk duluan,” ujarnya.
Cerita miris juga diungkapkan Ustad Jafar. Pria bertubuh tinggi besar ini punya pengalaman miris karena bertempat tinggal di dekat eks-lokalisasi Dupak Bangunsari. Saat putrinya genap berusia 17 tahun, dia mengadakan pesta di rumahnya. Namun, karena lokasinya yang berdekatan dengan lokalisasi saat itu membuat tidak ada satu pun teman sekolahnya yang datang. Hal inilah yang membuat dia dan keluarganya menitikkan air mata. “Kalau anda datang ke sini atas nama HAM, maka dimana hak asasi anak saya yang sebenarnya berhak mendapat tempat tinggal di lingkungan yang lebih baik,” tanyanya kepada anggota Komnas HAM.
Menanggapi hal tersebut, Komisioner Komnas HAM Dianto Bachriadi sepakat bahwa lokalisasi tidak boleh berada di wilayah permukiman. Sebab, hal itu dapat mempengaruhi kualitas hidup utamanya anak-anak. Mereka berhak mendapat lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.
Terkait adanya upaya-upaya intimidasi dari pihak tertentu yang sengaja menghalang-halangi warga untuk menuju ke arah yang lebih baik, Dianto menegaskan bahwa tindakan itu bisa diproses secara hukum. “Bila memang ada tindakan intimidasi bisa dilaporkan kepada polisi untuk selanjutnya diproses sesuai hukum yang berlaku,” terangnya. Dan itu juga berlaku bagi para oknum yang dengan sengaja menghalang-halangi PSK untuk alih profesi sesuai keinginannya. Intinya, warga bisa membuat laporan jika mendapat tekanan dari pihak tertentu.
Salah seorang warga lokalisasi juga menanyakan, apakah perdagangan manusia bisa dikategorikan melanggar HAM? Dianto mengatakan, polisi jelas harus menangkap para pelaku perdagangan manusia karena itu merupakan tindak kriminal. “Saya tidak perlu menyebut namanya lah. Polisi sudah pasti tahu itu dan punya datanya,” katanya.
Secara garis besar, Dianto menjelaskan bahwa Komnas HAM tidak pada posisi yang pro maupun kontra terhadap program pemkot. Pada dasarnya, Komnas HAM bertindak atas adanya pengaduan, dalam hal ini pengaduan dari pihak yang kurang setuju rehabiliasi kawasan Dolly. Dengan demikian, sudah merupakan kewajiban Komnas HAM untuk memahami permasalahan dengan cara menggali informasi dari dua sudut pandang. “Saya senang sekali hari ini mendapat penjelasan dari Ibu Walikota dan para stafnya. Sehingga ini akan memperlengkapi informasi yang sebelumnya kami himpun selama lebih kurang sepuluh hari,” pungkasnya.
Pemkot Siapkan Skema Rehabilitasi Kawasan Dolly Secara Matang
Saat menerima Komisioner Komnas HAM di balai kota, Walikota Surabaya Tri Rismaharini menyerahkan beberapa berkas yang berisi data traficking dan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dihimpun sejak 2012. Serta jumlah anak-anak di bawah umur yang terjaring razia akibat kedapatan menenggak minuman keras di beberapa kafe di Surabaya. Hasilnya, sebagian besar kasus tersebut berawal dari kawasan lokalisasi Dolly dan Jarak. Artinya, para pelaku maupun anak-anak yang terjaring razia, setelah ditelurusi datanya, mereka tinggal di kawasan tersebut. Itu menunjukkan bahwa ada korelasi antara kondisi lingkungan tempat tinggal dengan kualitas hidup.
Terlebih lagi, yang menjadi perhatian utama walikota dalam mengambil kebijakan ini adalah nasib anak-anak yang tinggal di sana. Mereka berhak mendapat kesempatan yang sama dengan anak-anak lain. “Mereka punya hak yang sama untuk meraih masa depan yang cerah,” ujar Risma.
Pemkot bukannya tanpa persiapan menjalankan program ini. Tentu, faktor ekonomi yang selama ini selalu dijadikan alasan itu sudah mendapat perhatian pemkot. Di luar bantuan modal untuk para mucikari dan PSK, pemkot juga sudah menyiapkan berbagai sarana infrastruktur guna mengganti sumber pendapatan dari profesi sebelumnya. Dengan demikian, PSK, mucikari dan warga terdampak bisa tetap mendapatkan nafkah tiap bulan dari lapangan kerja baru.
“Apa saya salah ketika berusaha memberikan kehidupan yang lebih baik bagi warga? Tenang saja, kami tidak akan lari dari tanggung jawab menjamin ekonomi warga. Di liponsos Keputih, 1.200 penderita psikotik yang 95 persen bukan orang Surabaya saja dirawat oleh pemkot. Masa, rehabilitasi Dolly ini saya lepas tangan,” papar mantan Kepala Bappeko ini.
Walikota juga menampik tudingan bahwa dia tidak pernah menjalin komunikasi langsung dengan warga lokalisasi. Dijelaskannya, komunikasi sudah terjalin sejak beberapa tahun lalu. Walikota juga pernah mengundang para PSK dan mucikari buka bersama saat bulan Ramadan. Dia pun sempat diam-diam turun ke lokalisasi khusus untuk memantau kondisi anak-anak yang sekolah di sekitar sana.
Namun, khusus untuk saat ini dia mengaku tidak bisa masuk karena pertimbangan situasi yang kurang kondusif. Menurut dia, situasi sudah banyak berubah karena ada oknum-oknum yang mencoba menghalangi dan menghasut warga sekitar. “Kalau begini, mana HAM yang kami langgar? Apakah berupaya untuk kehidupan yang lebih baik itu dikatakan melanggar HAM? Lantas bagaimana dengan hak-hak anak akan lingkungan tumbuh kembang yang baik di sekitar lokalisasi,” tanya walikota demi meyakinkan anggota Komnas HAM.
Kepala Dinas Sosial (dinsos) Surabaya Supomo, menambahkan, pihaknya memahami betul apa yang dibutuhkan warga lokalisasi berdasar pengalaman deklarasi alih fungsi sejumlah lokalisasi sebelumnya. Oleh karenanya, dinsos menyiapkan skema rehabilitasi yang menyentuh berbagai aspek meliputi sosial, pendidikan, dan ekonomi.
Keseriusan pemkot dapat dilihat pada kondisi eks-lokalisasi seperti Dupak Bangunsari, Tambakasri, Sememi dan Klakahrejo. Di keempat wilayah tersebut kondisinya saat ini sudah berubah jauh lebih baik. Pemkot sudah mengucurkan Rp 28 miliar untuk penyediaan lapangan pekerjaan. Juga Rp 16 miliar untuk tempat pelatihan, balai RW, pendidikan anak usia dini (PAUD) serta sarana olahraga. “Niatan pemkot ini adalah untuk kebaikan warga. Insyaallah tidak ada satu pun pelanggaran HAM saat deklarasi alih fungsi Dolly nanti,” kata Supomo.
Sementara dari sisi kesehatan, Kepala Dinas Kesehatan (dinkes) Surabaya Febria Rachmanita melaporkan bahwa dari pendataan mulai 2012 hingga 2014 tercatat sudah ada 215 PSK di Dolly dan Jarak yang positif mengidap HIV/AIDS. Angka tersebut mengalami peningkatan dari data sebelumnya yakni sebanyak 168 PSK pengidap HIV/AIDS. Artinya, ada atau tidak adanya lokalisasi, penyebaran virus HIV/AIDS tetap mengalami peningkatan karena terjadinya aktivitas seksual. Sehingga, lokalisasi menjadi kawasan yang rentan penyebaran virus mematikan tersebut.
Soal asumsi bahwa penyebaran HIV/AIDS akan semakin parah jika tidak ada lokalisasi, Febria menyatakan pihaknya sudah memiliki program-program khusus penanggulangan HIV/AIDS. “Kami sudah siapkan skema penanggulangannya,” imbuhnya.
Pada akhir pertemuan, walikota membocorkan sedikit rencana perubahan wajah kawasan Dolly. Pemkot akan membangun sebuah gedung enam lantai. Lantai dasar bakal difungsikan sebagai sentra PKL. Lantai dua untuk usaha makanan kering, lantai tiga dan empat khusus untuk perpustakaan dan komputer. Sedangkan lantai lima akan digunakan untuk taman bermain anak-anak serta balai RW yang ada di lantai enam. “Gedung itu dilengkapi dengan lift. Anggaran yang disiapkan sebesar Rp 9 miliar,” papar Risma. Tentu di samping itu pemkot juga akan membangun sarana penunjang lain seperti sarana olahraga dan perdagangan.