Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Wali Kota Eri Cahyadi Tinjau Pompa Kenjeran Saat Hujan

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memantau Pompa Kenjeran yang ternyata tersumbat sampah akibat tersangkut di jembatan. Karenanya, Pemkot segera membongkar jembatan tersebut.

Ops Gaktib Yustisi 2021, Fokus Disiplin Prokes di Jatim

Polisi Militer berkomitmen mendukung penegakkan dan ketaatan hukum, terlebih upaya pendisiplinan protokol kesehatan, sekaligus menjaga Persatuan dan Kesatuan.

Kejari Surabaya Tangkap Koruptor Pajak Rp 1,7 Miliar

Tim gabungan Intelijen dan Pidsus Kejari Surabaya harus melakukan pengintaian selama tiga hari sebelum menangkap terpidana tindak pidana korupsi pajak PPH fiktif Rp 1,7 milliar tersebut

Jangan Pikir yang Dapat Penghargaan Tak Korupsi

Seseorang yang telah mendapat penghargaan antikorupsi, bukan berarti tidak mungkin melakukan tindak pidana korupsi. Karena korupsi disebabkan adanya kekuasaan dan kesempatan.

Ucapan Selamat Eri - Armuji Penuhi Balai Kota

Karangan bunga ucapan selamat untuk Walikota Surabaya yang baru sudah mencapai seratus lebih memenuhi sepanjang pendesterian Jalan Sedap Malam.

Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Korupsi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 24 September 2023

Bacakan Duplik, Sahat Tua P Simandjuntak Kembali Bantah Terima Suap Rp39,5 Miliar


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak kembali membantah menerima uang suap sebesar Rp39,5 miliar dari Almarhum M Chozim serta terpidana Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

Sahat Tua P Simandjuntak hanya mengaku menerima uang suap sebesar Rp2,75 miliar dari terpidana Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

Sedangkan uang sebesar Rp36,7 miliar, Sahat mengklaim tidak pernah menerimanya.

Apalagi yang disangkakan dalam tuntutan JPU KPK, Ia juga mengenal Almarhum M Chozim yang pernah memberikan uang ijon fee sebesat Rp29,5 miliar melalui terpidana Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

"Saya memang mengaku bersalah, tetapi saya memohon untuk mengklarifikasi jumlahnya bukan Rp39,5 miliar, sebagaimana fakta persidangan saya menerima Rp2,75 miliar selama tahun 2022 sejak saya kenal Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, sedangkan Rp36,7 miliar tidak pernah saya terima dari siapapun," kata terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak saat membacakan duplik jawaban atas replik Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di ruang sidang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya, Jum'at (23/9).

Menurut terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak penerimaan uang Rp39,5 miliar, ia ketahui saat pemeriksaan sebagai saksi dengan terdakwa Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi yng sudah disusun dalam tabel-tabel.

Padahal dalam BAP-nya sebagai saksi, ia sudah membantahnya.

Tak hanya itu, dalam dupliknya, politisi asal Partai Golkar ini juga sangat terbebani dengan sanksi membayar uang pengganti Rp39,5 miliar.

Termasuk dengan sanksi pokok masa tahanan 12 tahun berdasarkan tuntutan JPU KPK, ditambah pencabutan hak menduduki jabatan publik secara politik selama lima tahun. 

"Yang akan menghukum saya dan keluarga sebagai sanksi sosial selamanya, dan saya tidak mampu harus membayar Uang Pengganti (UP) yang sangat besar itu," paparnya. 

Diakhir dupliknya, Sahat juga kembali meminta belas kasihan hakim untuk pengampunan atau keringanan hukum terdakwa Rusdi yang terseret dalam pusaran kasus korupsinya.

"Saya benar-benar merasa menyesal dan bersalah telah membuat keluarga saya menderita dan membuat Rusdi dan keluarganya menderita, kiranya Tuhan mengampuni dosa-dosa saya dan saya tidak akan mengulangi perbuatan ini lagi seumur hidup saya," pungkasnya.

Seperti diberitakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara

Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.

Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.

Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun. 

Dalam sidang tersebut JPU KPK  juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.

Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.

Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.

Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.

Namun tuntutan JPU KPK ini disanggah oleh terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak.

Politisi asal Partai Golkar ini ngotot hanya menerima uang suap tidak sebesar yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia mengaku hanya menerima uang suap sebesar Rp2,750 miliar, bukan Rp39,5 miliar.

Hal itu dikatakan Sahat Tua P Simandjuntak saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi saat sidang di Pengdilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).

“Saya sudah menyatakan mengaku bersalah. Tetapi saya mohon izin untuk mengklarifikasi jumlah nominal yang didakwakan atau dituntutkan kepada saya, bukan sebesar Rp39,5 miliar,” kata Sahat Tua P Simandjuntak yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim ini.

Menurut Sahat, uang suap yang diterima tersebut melalui anak buahnya Rusdi yang juga sebagai terdakwa.

“Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi secara tidak langsung, hanya sepanjang 2022 melalui saudara Rusdi sebesar Rp 2,750 miliar," jelasnya.

Sahat juga merinci uang suap sebesar Rp 2,750 miliar yang diterima dari Rusdi itu melalui tiga tahapan.

"Yang Rp1 miliar tunai, Rp250 juta via transfer rekening Rusdi, Rp500 juta tunai, dan Rp1 miliar pada saat terjadinya OTT 14 Desember 2022,” ungkapnya.

Nah, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,750 miliar, kata Sahat, sebagaimana kesaksian Hamid dan Ilham diberikan kepada almarhum Muhammad Chozin. 

“Uang itu tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah kenal, tidak mengenal, dan bertemu Chozin,” katanya.

Sahat percaya, penyidik maupun JPU KPK pasti sudah memeriksa handphone-nya dan tidak ada rekam jejak digital, bukti riwayat chat, atau komunikasi dengan Chozin. 

Selain itu, Hamid dan Ilham tidak pernah menyaksikan Chozin menyerahkan uang secara berturut-turut hingga Rp36,750 miliar ke dirinya.

“Dalam fakta persidangan, saksi Hamid dan Ilham menyatakan baru mengenal saya tahun 2022 dan iitu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya,” pungkasnya.

Menyikapi Pledoi Sahat, dalam Repliknya JPU KPK menolak semua pembelaan Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif ini.

"Pada prinsipnya, kami tidak sependapat dengan dalil bantahan dalam pembelaan terdakwa maupun penasehat hukumnya (PH) itu," jelas JPU KPK, Arief Suhermanto dikutip Kantor Berita RMOLJatim usai sidang, Selasa (19/9).

Terutama, kata Arief soal tidak terbuktinya kedekatan terdakwa Sahat dengan Khozim, salah satu saksi dalam kasus ini, yang kebetulan meninggal dunia, sebelum kasus ini mencuat. 

"Apalagi kalau disebutkan, tidak sinkron oleh terdakwa dengan PH," ungkap Arif.

JPU Arif menerangkan, hubungan kedekatan antara Sahat dengan Khozim terbukti dari percakapan (chat) dalam ponsel terdakwa lain Ilham Wahyudi dengan saksi Khozim. 

Percakapan tersebut ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2017. 

Artinya, jauh dari bantahan terdakwa Sahat yang sempat mengaku mengenal terdakwa Ilham Wahyudi dan Abdul Hamid, pada tahun 2022.

"Tersampaikan dan juga terlampirkan dalam replik ini yang tercatat di tahun 2017 sampai tahun 2022, sebelum meninggal dunianya si M Khozim. Di situ kita juga mengenai chat terkait dengan Khozim kepada Ilham akan bertemu dengan Sahat," tandasnya. 

Bahkan, lanjut Arif, terdapat bukti transfer uang yang terjadi antara sejumlah pihak hingga akhirnya mengalir ke terdakwa Sahat. 

"Dan juga menguatkan dengan bukti transaksi Afif yang mengatakan bahwa pertemuan Gigih meminta ketemu sama si Khozim itu kejadian sebelum covid. Berarti tahun 2019," lanjutnya. 

Terbuktinya hubungan antara saksi Khozim dengan terdakwa Sahat, disebut oleh Arif menegaskan adanya aliran dana senilai total Rp39,5 miliar yang sempat dibantah oleh terdakwa Sahat. 

"Nah itu sudah nyata hubungan antara Khozim dengan terdakwa Sahat, adalah ada. Dan ada perantara sebagaimana ada dalam pendalaman perkara, dalam pembuktian penerimaan uang Rp36,5 miliar. Total, digabungkan dengan yang di Rusdi ya. Kalau hanya Khosim Rp36 miliar. Kalau dengan Rusdi Rp39 miliar," ungkapnya. 

Arief Suhermanto menjelaskan mengenai status uang sitaan KPK senilai Rp1,4 miliar. Bahwa uang tersebut disita dari saksi Afif, yang merupakan teman dari terdakwa Rusdi yang terseret dalam kasus korupsi terdakwa Sahat. 

Penyitaan yang dilakukan oleh JPU KPK, didasarkan pada keterangan saksi Afif dalam persidangan agenda pemeriksaan saksi yang menyebutkan ketidakjelasan sumber perolehan uang tersebut. 

Bahkan, ungkap Arif, disinyalir kuat uang tersebut diperoleh dari praktik lancung yang dilakukan oleh pejabat legislatif DPRD Jatim, bermodusnya sama dengan dilakukan oleh terdakwa Sahat. 

"Sebagaimana keterangan saksi Afif, yang mengakui bahwa uang-uang itu dikumpulkan dan diterima dari beberapa anggota DPRD. Yang kami duga itu adalah berasal dari sama dengan apa yang dilakukan oleh Pak Sahat," jelasnya. 

"Sehingga sudah selayaknya uang-uang itu tidak jelas asal-usulnya. Artinya, dari mana, sebab apa, bukan terkait yang formal dan resmi, sehingga kami meminta itu disita," pungkasnya. 

Jumat, 22 September 2023

Korupsi Rp18 Miliar, KPK Tetapkan Eks Dirut BUMD Sumsel Sarimuda Sebagai Tersangka


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) KPK menetapkan mantan Direktur Utama PT Sriwijaya Mandiri Sumsel (PT SMS) 2019-2021, Sarimuda, sebagai tersangka. KPK langsung menahan Sarimuda.

Pantauan di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Kamis (21/9/2023), Sarimuda tampak memakai rompi tahanan berwarna oranye. Tangannya tampak diborgol.

Sarimuda diduga melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata mengatakan kasus ini terkait dengan kegiatan usaha PT Sriwijaya Mandiri Sumsel sebagai Badan Pengelola Kawasan Khusus (BP KEK) Tanjung Api-Api dengan kegiatan usaha jasa pengangkutan batu bara dengan menggunakan transportasi kereta api.

KPK mengatakan Sarimuda diduga membuat kebijakan untuk melakukan kerja sama pengangkutan batu bara dengan perusahaan pemilik batu bara ataupun pemegang izin usaha pertambangan. 

Melalui kontrak kerja sama dengan sejumlah perusahaan batu bara tersebut, kata Alexander, PT SMS Perseroda mendapatkan pembayaran dengan hitungan per metrik ton.

"Selain itu, PT SMS Perseroda juga melakukan kerja sama dengan beberapa vendor untuk menyediakan jasa pendukung," ujar Alexander.

Pada 2020-2021, kata Alexander, Sarimuda diduga memerintahkan pengeluaran uang dari kas PT SMS Perseroda dengan membuat berbagai dokumen invoice (tagihan) fiktif. 

Pembayaran dari beberapa vendor, menurut dia, tidak sepenuhnya dimasukkan ke kas PT SMS Perseroda, tapi dicairkan dan digunakan Sarimuda untuk keperluan pribadi.

"Dari setiap pencairan cek bank yang bernilai miliaran rupiah, SM (Sarimuda) melalui orang kepercayaannya menyisihkan dengan besaran ratusan juta dalam bentuk tunai dan juga mentransfer ke rekening bank salah satu perusahaan milik anggota keluarganya yang tidak memiliki kerjasama bisnis dengan PT SMS Perseroda," ucapnya.

"Perbuatan tersangka dimaksud, diduga mengakibatkan kerugian keuangan negara sejumlah sekitar Rp 18 miliar," pungkasnya.

Kajati Banten Telusuri Situ Aset Pemprov yang Dijual


KABARPROGRESIF.COM: (Banten) Kepala Kejaksaan Tinggi Negeri (Kajati) Banten Didik Farkhan Alisyahdi mengaku tengah menelusuri keberadaan situ di Provinsi Banten yang beralih fungsi.

Berdasarkan data yang dimiliki Kejati Banten dari 137 diperkirakan 36 situ yang sudah beralih fungsi.

“Ada yang sudah jadi daratan, pabrik, bahkan ada yang jadi perumahan,” kata Didik, Rabu (20/9/2023).

Menurut Didik, situ-situ yang berada di Banten sudah menjadi aset Pemprov Banten. 

Sayang situ tersebut ada yang tidak terdata, ada juga yang dikuasai oleh pihak tertentu.

“Tapi ternyata ada beberapa yang tidak terdata, dikuasai dan berubah fungsi. Ini kita mau mencoba mengembalikan fungsi-fungsi itu,” ujarnya.

Pemprov Banten sudah memberikan Surat Kuasa Khusus (SKK) ke Kejati Banten terhadap sebanyak 137 situ untuk menyelesaikan aset-aset tersebut.

“Kita berupaya melakukan sertifikasi sehingga hak kepemilikan Pemprov itu terlindungi,”terangnya.

Lebih lanjut Didik mengatakan, akan terlebih dahulu menelusuri keberadaan situ tersebut. 

Jika ditemukan perbuatan melawan hukum, pihaknya tak segan-segan menyeretnya ke ranah hukum.

“Kita lagi inventarisasi, ini dikuasai siapa, bagaimana bisa beralih, ada perbuatan melawan hukumnya enggak saat peralihan itu. Kan infonya ada yang jual aset ini, sehingga pemprov tidak bisa menguasai aset tadi,” tandasnya.

Korupsi Bansos COVID-19, Kejari Purwakarta Tahan 3 Tersangka


KABARPROGRESIF.COM: (Purwakarta) Kejaksaan Negeri (Kejari) Purwakarta menahan tiga pejabat yang jadi tersangka kasus korupsi anggaran belanja tak terduga (BTT) tahun anggaran 2020. 

Dana itu merupakan dana bantuan sosial yang diperuntukkan bagi karyawan yang terkena PHK dampak pandemi COVID-19.

Ketiga tersangka tersebut adalah Titov Firman Hidayat (Mantan Kadisnakertrans Purwakarta), Asep Surya Komara (Mantan Kadinsos P4A Purwakarta) dan Asep Gunawan (Mantan Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia Purwakarta).

Ketiganya ditahan pada Kamis (21/9/2023) malam. Mereka keluar dari Kantor Kejari mengenakan rompi berwarna merah muda bertuliskan 'Tahanan Kasus Korupsi Kajari Purwakarta'. 

Mereka dikawal petugas kemudian masuk ke dalam minibus untuk selanjutnya ditahan di Lapas Purwakarta.

Kasi Pidsus Kejari Purwakarta Nana Lukmana mengatakan, ketiga tersangka tersebut ditahan oleh Kejari Purwakarta. Mereka ditahan setelah diperiksa selama delapan jam.

"Pada hari ini, Kamis (22/9), kami memeriksa ketiga tersangka tersebut, kami periksa sejak pagi hingga tadi jam 10 malam dan langsung kami tahan," ujar Nana kepada wartawan di Kantor Kejari Purwakarta, Kamis (22/9/2023) malam.

Nana mengatakan, para tersangka sempat mengajukan penangguhan penahanan. Berdasarkan pertimbangan dan diskusi, Kepala Kajari PurwakartaRohayatie memutuskan menolak permohonan dan ketiganya langsung dibawa ke rutan.

Penetapan tersangka ini sudah dilakukan sejak Juli 2023, namun pihaknya baru melakukan penahanan secara resmi setelah melakukan pemeriksaan ulang saksi sebanyak 800 orang, hasil pemeriksaan ahli hingga hasil auditor internal.

"Kita baru hari ini melakukan panggilan sebagai saksi naik jadi tersangka dan ketiganya langsung kita tahan. Perannya dua kadis dan ketiga salah satu ketua serikat. Peran dua kadis itu tidak melakukan verifikasi dan validasi terhadap orang-orang yang diusulkan berdasarkan permintaan ketua serikat, hingga menyebabkan tidak tepat sasaran sesuai dengan SK yang dikeluarkan," katanya.

Lebih rinci Nana menjelaskan, dana BTT ini dikeluarkan untuk meringankan beban korban PHK akibat hantaman COVID-19, yang bersumber dari anggaran dinsos P3A Purwakarta tahun 2020. 

Namun hasil pemeriksaan data yang diusulkan tidak sesuai dengan data penerima.

Untuk data penerima ada yang masih bekerja, ada yang terkena PHK namun bukan dampak COVID-19. Lebih parahnya lagi, ada yang sama sekali bukan pekerja. Ketiga kategori itu malah mendapatkan dana bansos.

"Dari dana BTT COVID-19 untuk karyawan yang terkena PHK itu, dari 1.000 orang yang telah ditetapkan, ternyata hanya ada 87 orang yang tepat sasaran. Selebihnya sebanyak 913 orang yang mendapatkan bantuan itu tidak sesuai dengan yang sudah di SK-kan," ungkapnya

Selain itu, ia mengatakan pihaknya menemukan adanya potongan penyaluran BTT COVID-19 kepada karyawan yang terkena PHK. 

"Dari 1.000 orang yang telah ditentukan, setiap orang penerima bantuan hanya menerima Rp 1,8 juta. Sedangkan, masing-masing orang itu seharusnya mendapatkan Rp 2 juta. Ada potongan sebesar 10 persen atau Rp 200 ribu," kata Nana.

Adapun penetapan ketiga tersangka tersebut berdasarkan hasil penyelidikan Kejari Purwakarta yang mengungkap kerugian negara hingga Rp 1.849.300.000 atau Rp 1,8 miliar lebih.

"Berdasarkan pemeriksaan kami, anggaran yang bersumber dari Dinas Sosial sebesar Rp 2.020.000.000 itu dikorupsi oleh tiga orang yang kini telah ditetapkan tersangka sebesar Rp 1.849.300.000," bebernya.

Nana mengatakan, ketiga tersangka tersebut kini dijerat dengan pasal Undang-undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) berlapis.

"Untuk ketiga tersangka tersebut, kami jerat dengan UU Tipikor No 31 Tahun 1999 Junto UU No 20 Tahun 2021 Pasal 1 Ayat 2, Pasal 2 Ayat 2, Pasal 3 dan Pasal 9. Hukuman paling berat ada di Pasal 2 Ayat 2 dengan hukuman maksimal hukuman mati," pungkasnya.

Sementara itu, salah satu kuasa hukum tersangka, yakni Dul Nasir mengatakan sudah melakukan upaya penangguhan penahanan. Namun, ia mengatakan Kejari Purwakarta telah menggunakan haknya untuk tersangka segera ditahan.

"Kami sebagai kuasa hukum telah berupaya secara maksimal, namun itu tidak apa-apa. Kami akan membuktikan apakah klien kami terbukti bersalah atau tidak pada persidangan nanti," kata Nasir.

Eks Bupati Bangkalan Ra Latif Dijebloskan ke Lapas Sukamiskin


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengeksekusi mantan Bupati Bangkalan R. Abdul Latif Amin Imron alias Ra Latif ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Sukamiskin, Bandung, Jawa Barat.

"Jaksa eksekutor KPK Nanang Suryadi telah selesai melaksanakan eksekusi pidana badan dengan terpidana R. Abdul Latif Amin Imron (Bupati Bangkalan) ke Lapas Sukamiskin Bandung," ujar Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri melalui keterangan tertulis, Jumat (22/9).

Eksekusi tersebut berdasarkan putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) pada Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang telah berkekuatan hukum tetap.

Ra Latif akan menjalani pidana penjara selama sembilan tahun dikurangi masa penahanan. 

Selain pidana badan, ia juga dihukum membayar denda sebesar Rp300 juta subsider empat bulan kurungan ditambah uang pengganti sebesar Rp9,7 miliar subsider tiga tahun penjara.

Ra Latif diproses hukum KPK atas kasus suap terkait lelang jabatan di lingkungan Pemerintah Kabupaten Bangkalan serta penerimaan gratifikasi. KPK turut menjerat lima tersangka lain dalam kasus suap lelang jabatan tersebut.

KPK menyebut Ra Latif melalui orang kepercayaannya meminta komitmen fee berupa uang kepada setiap ASN yang ingin dinyatakan terpilih dan lulus dalam seleksi jabatan untuk eselon 3 dan 4. 

Uang yang diminta mulai dari Rp50 juta sampai Rp150 juta.

KPK pun sempat menyebut Ra Latif diduga menerima uang sebesar Rp5,3 miliar dan menggunakan uang tersebut untuk survei elektabilitas.

Kamis, 21 September 2023

KPK Periksa Ketua Gapensi Surabaya dan 5 Saksi Lain Soal Korupsi di Lamongan


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Sebanyak 6 orang saksi terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pembangunan gedung kantor Pemkab Lamongan Tahun Anggaran 2017-2019 diperiksa di Gedung Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Provinsi Jawa Timur. 

Sebagian besar dari perusahaan konstruksi.

"Hari ini bertempat di BPKP Perwakilan Prov Jatim, Tim Penyidik menjadwalkan pemanggilan dan pemeriksaan saksi-saksi," ujar Ali Fikri, Juru Bicara KPK dalam keterangan tertulis, Kamis (21/9/2023).

Dalam keterangan itu dijelaskan nama-nama saksi yang diperiksa terkait dengan pelaksanaan pembangunan gedung kantor Pemkab Lamongan tersebut. 

Salah satunya adalah Yoyon Sudiono, Ketua Gabungan Pelaksana Konstruksi Nasional Indonesia (Gapensi) Surabaya.

Selain itu, turut diperiksa Direktur PT Surya Unggul Nusa Cons Kukuh Santiko Wijaya, serta Direktur PT Tangga Batu Jaya Abadi Cabang Surabaya Suhariono.

Sebelumnya, Ali Fikri mengatakan sudah ada tersangka yang telah ditetapkan buntut rentetan penggeledahan di Lamongan terkait kasus dugaan korupsi pembangunan Gedung Pemkab Lamongan.

Selain itu, Ali menyebutkan sudah ada 14 orang saksi yang diperiksa pada Rabu (20/9), setelah KPK melakukan rangkaian penggeledahan kantor Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman (Perkim) Lamongan, rumah dinas (rumdin) Bupati Yuhronur Efendi, dan gedung Pemkab Lamongan.

"Hari ini juga pemeriksaan beberapa saksi beberapa pejabat di lingkungan Kabupaten Lamongan. Totalnya ada 14 saksi," kata Ali Fikri di Surabaya, Rabu (20/9/2023).

Ali Fikri menyebutkan bahwa 14 saksi yang menjalani pemeriksaan di Kantor BPKP Jatim kemarin mayoritas berasal dari ASN di lingkungan Pemkab Lamongan. Ada juga dari pihak swasta.

"Ada 14 orang dari beberapa ASN, ada kepala bidang cipta karya, staf pengadaan, kepala bidang sarana, kepala bidang perumahan, pegawai inspektorat juga pihak swasta dilakukan pemeriksaan," jelasnya.

Sedangkan Bupati Lamongan menurutnya belum menjalani pemeriksaan. Bahkan nama Bupati Yuhronur Efendi juga tidak masuk dalam daftar saksi yang diperiksa hari ini.

"Namanya (bupati) belum ada (belum diperiksa sebagai saksi)."


Ali Fikri menyebut saat ini memang pihaknya belum bisa mengumumkan secara resmi nama tersangka. Ia lalu meminta semua pihak sabar menunggu pengumuman tersangka.

"Nanti kalau saksi secara teknis kami lakukan pemeriksaan itu, adapun nama tersangka pada saatnya akan kami sampaikan, sabar dulu. Jumlahnya berapa, namanya siapa, jabatannya apa, itu nanti pada saatnya ketika proses penyidikan cukup, kemudian kami umumkan secara resmi dan kami lakukan penahanan kepada tersangka ya," bebernya.

"Tersangka nanti disampaikan pada waktunya, siapapun orangnya sesuai alat bukti yang kami miliki. Prinsip kerja kami, di beberapa perkara yang kami tangani itu berkaitan dengan proyek pengadaan di sana, siapa nanti tersangkanya, berapa orangnya, konstruksi perkaranya akan kami sampaikan," tandasnya.

Berikut ini 6 orang saksi yang diperiksa KPK di gedung BPKB Perwakilan Jatim pada Kamis.

1. Yoyon Sudiono (Ketua Gapensi Surabaya periode 2016 - 2021)

2. Kukuh Santiko Wijaya (Direktur PT Surya Unggul Nusa Cons)

3. Suhariono (Direktur PT Tangga Batu Jaya Abadi Cabang Surabaya)

4. Agus Budi Hartanto (Project Manager PT Tangga Batu Jaya Abadi)

5. Mochammad Chilman Azdi (Karyawan PT Graha Nirwana Konstruksi)

6. Moch Ranoe Asmoro (Konsultan pada PT Delta Buana)

Rabu, 20 September 2023

KPK Ungkap 4 Pimpinan DPRD Jatim Sudah Tak Dicekal ke Luar Negeri


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Juru Bicara KPK Ali Fikri mengungkap cekal terhadap empat pimpinan DPRD Jawa Timur tidak diperpanjang. 

Sebelumnya KPK mencekal pimpinan DPRD Jatim sejak Februari 2023.

"Ya kalau kemudian ada (Pimpinan DPRD Jatim) yang sampai ke luar negeri, artinya sudah selesai untuk pencekalan 6 bulan pertama," kata Ali Fikri saat bincang dengan awakmedia di Surabaya, Rabu (20/9/2023).

Ali Fikri menyatakan saat pencekalan ke luar negeri tidak diperpanjang, maka alat bukti dan bahan persidangan sudah cukup. 

Sebab, dasar pencekalan ke luar negeri untuk kelengkapan alat bukti yang dibuktikan dalam persidangan.

"Cekal, pencegahan berpergian luar negeri itu pada prinsipnya kan kelancaran proses penanganan perkara. Ketika kemudian kebutuhan untuk pencegahan seseorang ke luar negeri sudah selesai dan batas waktu 6 bulan sesuai UU Imigrasi. Lalu dapat diperpanjang untuk 6 bulan kedua," jelasnya.

"Kalau kepentingan pencegahan seseorang sudah tidak dibutuhkan lagi, artinya berkas perkara sudah cukup. Dan itu sudah dibawa proses persidangan, maka tidak perlu dilakukan pencekalan yang kedua kalinya," tambahnya.

Menurut Fikri tidak perlu ada pencekalan ke luar negeri dalam waktu 6 bulan berturut-turut jika alat bukti sudah lengkap.

"Artinya sebagai strategi penanganan perkara tidak harus serta merta seseorang dilakukan cekal 6 bulan berturut-turut. Tetapi kesempatan 6 bulan berikutnya, bisa dilakukan sesuai kebutuhan nantinya," jelasnya.

"Karena orang yang dicekal ke luar negeri 6 bulan terburut-turut, maka lewat 10 tahun tidak boleh dilakukan pencekalan karena bagian dari pelangharan HAM. Itu bagian strategi penindakan, maka perlu yang dilakukan cegah, mana yang tidak perlu. Kebutuhan selanjutnya kan kapan dilakukan sesuai kebutuhan karena perkara sudah bergulir di persidangan dan fakta hukum dan bukti sudah tercatat dan petunjuk dalam persidangan," tambahnya.

Fikri meminta semua pihak menunggu hasil dari vonis kasus hibah yang menjerat Wakil Ketua DPRD Jatim Sahat Tua Simanjuntak.

"Jadi tidak dihapus cekalnya, tapi otomatis hilang karena masa waktu. Tunggu hasil persidangan saja, kita lihat rekomendasi hakim," tandasnya.

Sebelumnya awal Maret 2023 lalu, KPK mencegah 4 orang pimpinan DPRD Jawa Timur bepergian ke luar negeri. 

Hal ini buntut penyidikan kasus dugaan suap dana hibah Pemprov Jatim dengan tersangka Wakil Ketua DPRD Sahat Tua Simanjuntak.

"Benar, masih terkait kebutuhan proses penyidikan perkara tersangka STPS dkk, tim penyidik telah mengajukan tindakan cegah ke luar negeri pada Dirjen Imigrasi Kemenkumham RI terhadap empat orang yang menjabat selaku anggota DPRD Jawa Timur periode 2019 sampai 2024," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri, Selasa (7/3/2023).

Proses pencegahan ini akan berlangsung selama enam bulan. Ini berarti, empat orang tersebut bakal dicegah ke luar negeri hingga Juli 2023.

"Tentunya dapat diperpanjang kembali sepanjang diperlukan. Langkah cegah ini diperlukan antara lain agar para pihak dimaksud tetap berada di wilayah RI dan dapat selalu kooperatif hadir untuk memberikan keterangan dengan jujur di hadapan tim penyidik," ujar Ali.

Berdasarkan sumber, keempat orang yang dicegah KPK di kasus suap dana hibah Pemprov Jatim merupakan pimpinan DPRD Jatim. 

Salah satu yang dicegah ialah Ketua DPRD Jatim Kusnadi. 

Tiga orang lainnya yakni Anik Maslachah, Anwar Sadad, dan Achmad Iskandar. Ketiga orang ini sebagai Wakil Ketua DPRD Jatim Periode 2019-2024.

KPK Sebut Kasus Penggeledahan di Lamongan Sudah Ada Tersangka


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) KPK terus melakukan penyidikan dugaan korupsi terkait proyek pembangunan gedung Pemkab Lamongan. KPK pun mengakui sudah ada tersangka dalam kasus tersebut.

"Untuk Lamongan, betul saat ini KPK melakukan proses penyidikan. Artinya sudah ada tersangka yang ditetapkan," kata Jubir KPK Ali Fikri saat di Surabaya, Rabu (20/9/2023).

Ali Fikri menyatakan ketika sudah masuk tahapan proses penyidikan di KPK, maka sudah pasti ada tersangka.

"Jadi itu sistem kerja KPK. Karena ketika proses naik penyidikan, kami pastikan sudah ada tersangkanya, itu sistem kerja KPK," terangnya.

"Beda penegak hukum lain, proses penyidikan belum tentu ada tersangkanya. Baru tahap lain ditentukan tersangka. Proses penyidikan yang dilakukan KPK artinya kami sudah ada tersangka, karena kami sudah melakukan penggeledahan, penyitaan itu artinya proses penyidikan dan sudah ada tersangka," bebernya.

Ali menambahkan KPK memang saat ini belum mengumumkan secara resmi. 

Ia lalu meminta semua pihak sabar menunggu pengumuman nama-nama tersangka dalam dugaan korupsi terkait proyek pembangunan di Pemkab Lamongan.

"Memang secara teknis belum kami sampaikan ke masyarakat, siapa yang ditetapkan tersangka dan bagaimana konstruksi perkaranya, karena saat ini masih pengumpulan alat bukti, dilakukan penggeledahan beberapa lokasi dan memeriksa sejumlah saksi," tandasnya.

Sebelumnya, Bupati Lamongan Yuhronur Effendi buka suara soal KPK yang menggeledah Kantor Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Lamongan dan rumah dinasnya.

Ia menyebut, tujuan KPK untuk mencari dokumen proyek pembangunan gedung 7 milik Pemkab Lamongan periode 2017-2019. 

Proyek ini menghabiskan dana hingga Rp 151 miliar yang dilakukan pada 2017-2019 atau pada masa pemerintahan Bupati Fadeli. Gedung ini diresmikan pada 10 November 2019.

"Jadi sebagaimana diketahui, kemarin (Rabu) selain dari Dinas Perkim dan rumah dinas bupati dalam rangka untuk mencari dokumen berkaitan dengan proyek pembangunan gedung Pemda 2017-2019 dan sudah dilaksanakan selama beberapa jam," kata bupati yang akrab disapa Pak Yes itu usai menghadiri pengukuhan pengurus gerakan pemasyarakatan minat baca di kantor Perpustakaan Lamongan, Kamis (14/9/2023).

KPK Pastikan Tak Hanya Sahat, Kasus Dana Hibah Pemprov Jatim Berpotensi Penetapan Tersangka Baru


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memastikan dugaan korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim tak hanya menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur non aktif Sahat Tua P. Simandjuntak, Rusdi, Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi.

Namun lembaga anti rasuah ini akan menyeret pihak lainnya yang diduga turut menikmati gratifikasi penyaluran dana hibah pokir tersebut.

"Tentu saja. Pejabat legislatif atau dewan yang terseret tidak cuma Sahat. Selama fakta itu mengungkap keterlibatan yang lain, anggota dewan lain, tentu kami akan sikapi lebih lanjut," jelas JPU KPK Arief Suhermanto, Selasa (19/9).

Meski demikian, KPK saat ini masih berfokus pada persidangan terhadap terdakwa Sahat dan kawan-kawan.

Jika nantinya terungkap fakta persidangan tentang keterlibatan pihak lain, maka JPU KPK bakal melakukan serangkaian langkah hukum lanjutan guna menindaklanjuti hal tersebut.

"Nanti, ini masih berkaitan dengan perkara Pak Sahat. Tentu saja (berkembang) dengan mencermati fakta-fakta yang terungkap di persidangan ini, kami akan mencermati bagaimana hakim mempertimbangkan semua fakta yang ada di sini. Kami akan cermati lagi," pungkasnya.

Seperti diberitakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara

Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.

Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.

Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun. 

Dalam sidang tersebut JPU KPK  juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.

Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.

Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.

Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.

Namun tuntutan JPU KPK ini disanggah oleh terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak.

Politisi asal Partai Golkar ini ngotot hanya menerima uang suap tidak sebesar yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia mengaku hanya menerima uang suap sebesar Rp2,750 miliar, bukan Rp39,5 miliar.

Hal itu dikatakan Sahat Tua P Simandjuntak saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi saat sidang di Pengdilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).

“Saya sudah menyatakan mengaku bersalah. Tetapi saya mohon izin untuk mengklarifikasi jumlah nominal yang didakwakan atau dituntutkan kepada saya, bukan sebesar Rp39,5 miliar,” kata Sahat Tua P Simandjuntak yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim ini.

Menurut Sahat, uang suap yang diterima tersebut melalui anak buahnya Rusdi yang juga sebagai terdakwa.

“Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi secara tidak langsung, hanya sepanjang 2022 melalui saudara Rusdi sebesar Rp 2,750 miliar," jelasnya.

Sahat juga merinci uang suap sebesar Rp 2,750 miliar yang diterima dari Rusdi itu melalui tiga tahapan.

"Yang Rp1 miliar tunai, Rp250 juta via transfer rekening Rusdi, Rp500 juta tunai, dan Rp1 miliar pada saat terjadinya OTT 14 Desember 2022,” ungkapnya.

Nah, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,750 miliar, kata Sahat, sebagaimana kesaksian Hamid dan Ilham diberikan kepada almarhum Muhammad Chozin. 

“Uang itu tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah kenal, tidak mengenal, dan bertemu Chozin,” katanya.

Sahat percaya, penyidik maupun JPU KPK pasti sudah memeriksa handphone-nya dan tidak ada rekam jejak digital, bukti riwayat chat, atau komunikasi dengan Chozin. 

Selain itu, Hamid dan Ilham tidak pernah menyaksikan Chozin menyerahkan uang secara berturut-turut hingga Rp36,750 miliar ke dirinya.

“Dalam fakta persidangan, saksi Hamid dan Ilham menyatakan baru mengenal saya tahun 2022 dan iitu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya,” pungkasnya.

Menyikapi Pledoi Sahat, dalam Repliknya JPU KPK menolak semua pembelaan Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif ini.

"Pada prinsipnya, kami tidak sependapat dengan dalil bantahan dalam pembelaan terdakwa maupun penasehat hukumnya (PH) itu," jelas JPU KPK, Arief Suhermanto dikutip Kantor Berita RMOLJatim usai sidang, Selasa (19/9).

Terutama, kata Arief soal tidak terbuktinya kedekatan terdakwa Sahat dengan Khozim, salah satu saksi dalam kasus ini, yang kebetulan meninggal dunia, sebelum kasus ini mencuat. 

"Apalagi kalau disebutkan, tidak sinkron oleh terdakwa dengan PH," ungkap Arif.

JPU Arif menerangkan, hubungan kedekatan antara Sahat dengan Khozim terbukti dari percakapan (chat) dalam ponsel terdakwa lain Ilham Wahyudi dengan saksi Khozim. 

Percakapan tersebut ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2017. 

Artinya, jauh dari bantahan terdakwa Sahat yang sempat mengaku mengenal terdakwa Ilham Wahyudi dan Abdul Hamid, pada tahun 2022.

"Tersampaikan dan juga terlampirkan dalam replik ini yang tercatat di tahun 2017 sampai tahun 2022, sebelum meninggal dunianya si M Khozim. Di situ kita juga mengenai chat terkait dengan Khozim kepada Ilham akan bertemu dengan Sahat," tandasnya. 

Bahkan, lanjut Arif, terdapat bukti transfer uang yang terjadi antara sejumlah pihak hingga akhirnya mengalir ke terdakwa Sahat. 

"Dan juga menguatkan dengan bukti transaksi Afif yang mengatakan bahwa pertemuan Gigih meminta ketemu sama si Khozim itu kejadian sebelum covid. Berarti tahun 2019," lanjutnya. 

Terbuktinya hubungan antara saksi Khozim dengan terdakwa Sahat, disebut oleh Arif menegaskan adanya aliran dana senilai total Rp39,5 miliar yang sempat dibantah oleh terdakwa Sahat. 

"Nah itu sudah nyata hubungan antara Khozim dengan terdakwa Sahat, adalah ada. Dan ada perantara sebagaimana ada dalam pendalaman perkara, dalam pembuktian penerimaan uang Rp36,5 miliar. Total, digabungkan dengan yang di Rusdi ya. Kalau hanya Khosim Rp36 miliar. Kalau dengan Rusdi Rp39 miliar," ungkapnya. 

Arief Suhermanto menjelaskan mengenai status uang sitaan KPK senilai Rp1,4 miliar. Bahwa uang tersebut disita dari saksi Afif, yang merupakan teman dari terdakwa Rusdi yang terseret dalam kasus korupsi terdakwa Sahat. 

Penyitaan yang dilakukan oleh JPU KPK, didasarkan pada keterangan saksi Afif dalam persidangan agenda pemeriksaan saksi yang menyebutkan ketidakjelasan sumber perolehan uang tersebut. 

Bahkan, ungkap Arif, disinyalir kuat uang tersebut diperoleh dari praktik lancung yang dilakukan oleh pejabat legislatif DPRD Jatim, bermodusnya sama dengan dilakukan oleh terdakwa Sahat. 

"Sebagaimana keterangan saksi Afif, yang mengakui bahwa uang-uang itu dikumpulkan dan diterima dari beberapa anggota DPRD. Yang kami duga itu adalah berasal dari sama dengan apa yang dilakukan oleh Pak Sahat," jelasnya. 

"Sehingga sudah selayaknya uang-uang itu tidak jelas asal-usulnya. Artinya, dari mana, sebab apa, bukan terkait yang formal dan resmi, sehingga kami meminta itu disita," pungkasnya. 

Bacakan Replik Kasus Sahat Tua P Simandjuntak, JPU KPK Pastikan Sesuai Tuntutan


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Sidang dugaan korupsi dana hibah pokok pikiran (Pokir) APBD Pemprov Jatim dengan terdakwa, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif Sahat Tua P Simandjuntak dan ajudannya Rusdi kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Selasa (19/9).

Kali ini beragendakan replik atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atas pledoi (pembelaan) yang diajukan oleh terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak maupun Rusdi dan Penasehat hukumnya yang dibacakan Jum'at (15/9) lalu.

"Pada prinsipnya, kami tidak sependapat dengan dalil bantahan dalam pembelaan terdakwa maupun penasehat hukumnya (PH) itu," jelas JPU KPK, Arief Suhermanto usai sidang.

Terutama, kata Arief soal tidak terbuktinya kedekatan terdakwa Sahat dengan Khozim, salah satu saksi dalam kasus ini, yang kebetulan meninggal dunia, sebelum kasus ini mencuat. 

"Apalagi kalau disebutkan, tidak sinkron oleh terdakwa dengan PH," ungkap Arif.

JPU Arif menerangkan, hubungan kedekatan antara Sahat dengan Khozim terbukti dari percakapan (chat) dalam ponsel terdakwa lain Ilham Wahyudi dengan saksi Khozim. 

Percakapan tersebut ternyata sudah berlangsung sejak tahun 2017. 

Artinya, jauh dari bantahan terdakwa Sahat yang sempat mengaku mengenal terdakwa Ilham Wahyudi dan Abdul Hamid, pada tahun 2022.

"Tersampaikan dan juga terlampirkan dalam replik ini yang tercatat di tahun 2017 sampai tahun 2022, sebelum meninggal dunianya si M Khozim. Di situ kita juga mengenai chat terkait dengan Khozim kepada Ilham akan bertemu dengan Sahat," tandasnya. 

Bahkan, lanjut Arif, terdapat bukti transfer uang yang terjadi antara sejumlah pihak hingga akhirnya mengalir ke terdakwa Sahat. 

"Dan juga menguatkan dengan bukti transaksi Afif yang mengatakan bahwa pertemuan Gigih meminta ketemu sama si Khozim itu kejadian sebelum covid. Berarti tahun 2019," lanjutnya. 

Terbuktinya hubungan antara saksi Khozim dengan terdakwa Sahat, disebut oleh Arif menegaskan adanya aliran dana senilai total Rp39,5 miliar yang sempat dibantah oleh terdakwa Sahat. 

"Nah itu sudah nyata hubungan antara Khozim dengan terdakwa Sahat, adalah ada. Dan ada perantara sebagaimana ada dalam pendalaman perkara, dalam pembuktian penerimaan uang Rp36,5 miliar. Total, digabungkan dengan yang di Rusdi ya. Kalau hanya Khosim Rp36 miliar. Kalau dengan Rusdi Rp39 miliar," ungkapnya. 

Arief Suhermanto menjelaskan mengenai status uang sitaan KPK senilai Rp1,4 miliar. Bahwa uang tersebut disita dari saksi Afif, yang merupakan teman dari terdakwa Rusdi yang terseret dalam kasus korupsi terdakwa Sahat. 

Penyitaan yang dilakukan oleh JPU KPK, didasarkan pada keterangan saksi Afif dalam persidangan agenda pemeriksaan saksi yang menyebutkan ketidakjelasan sumber perolehan uang tersebut. 

Bahkan, ungkap Arif, disinyalir kuat uang tersebut diperoleh dari praktik lancung yang dilakukan oleh pejabat legislatif DPRD Jatim, bermodusnya sama dengan dilakukan oleh terdakwa Sahat. 

"Sebagaimana keterangan saksi Afif, yang mengakui bahwa uang-uang itu dikumpulkan dan diterima dari beberapa anggota DPRD. Yang kami duga itu adalah berasal dari sama dengan apa yang dilakukan oleh Pak Sahat," jelasnya. 

"Sehingga sudah selayaknya uang-uang itu tidak jelas asal-usulnya. Artinya, dari mana, sebab apa, bukan terkait yang formal dan resmi, sehingga kami meminta itu disita," pungkasnya. 

Sebelumnya dalm pledoi, Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak ngotot hanya menerima uang suap tidak sebesar yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia mengaku hanya menerima uang suap sebesar Rp2,750 miliar, bukan Rp39,5 miliar.

Hal itu dikatakan Sahat Tua P Simandjuntak saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi saat sidang di Pengdilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).

“Saya sudah menyatakan mengaku bersalah. Tetapi saya mohon izin untuk mengklarifikasi jumlah nominal yang didakwakan atau dituntutkan kepada saya, bukan sebesar Rp39,5 miliar,” kata Sahat Tua P Simandjuntak yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim ini.

Menurut Sahat, uang suap yang diterima tersebut melalui anak buahnya Rusdi yang juga sebagai terdakwa.

“Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi secara tidak langsung, hanya sepanjang 2022 melalui saudara Rusdi sebesar Rp 2,750 miliar," jelasnya.

Sahat juga merinci uang suap sebesar Rp 2,750 miliar yang diterima dari Rusdi itu melalui tiga tahapan.

"Yang Rp1 miliar tunai, Rp250 juta via transfer rekening Rusdi, Rp500 juta tunai, dan Rp1 miliar pada saat terjadinya OTT 14 Desember 2022,” ungkapnya.

Nah, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,750 miliar, kata Sahat, sebagaimana kesaksian Hamid dan Ilham diberikan kepada almarhum Muhammad Chozin. 

“Uang itu tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah kenal, tidak mengenal, dan bertemu Chozin,” katanya.

Sahat percaya, penyidik maupun JPU KPK pasti sudah memeriksa handphone-nya dan tidak ada rekam jejak digital, bukti riwayat chat, atau komunikasi dengan Chozin. 

Selain itu, Hamid dan Ilham tidak pernah menyaksikan Chozin menyerahkan uang secara berturut-turut hingga Rp36,750 miliar ke dirinya.

“Dalam fakta persidangan, saksi Hamid dan Ilham menyatakan baru mengenal saya tahun 2022 dan iitu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya,” pungkasnya.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara

Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.

Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.

Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun. 

Dalam sidang tersebut JPU KPK  juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.

Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.

Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.

Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.

Selasa, 19 September 2023

KPK Tahan Eks Dirut TransJ Kuncoro Wibowo Tersangka Korupsi Bansos


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) KPK resmi menahan mantan Direktur Utama PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) M Kuncoro Wibowo. 

Wibowo merupakan salah satu tersangka kasus dugaan korupsi beras bansos di Kementerian Sosial periode 2020-2021.

Pantauan di gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Senin (18/9/2023), Kuncoro digiring dari ruang pemeriksaan menuju lokasi konferensi pers di Gedung Juang KPK. 

Dia mengenakan rompi tahanan berwarna oranye sambil diborgol dan mengenakan masker.

Direktur Penyidikan KPK Asep Guntur mengatakan Kuncoro ditahan di Rutan KPK selama 20 hari pertama hingga 7 Oktober 2023. Kuncoro merupakan tersangka keenam dalam kasus korupsi bansos.

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, Tim Penyidik menahan Tersangka MKW di Rutan KPK untuk masing-masing selama 20 hari pertama, terhitung 18 September 2023 sampai 7 Oktober 2023. Dengan penahanan ini, maka seluruh tersangka yang telah ditetapkan dalam perkara ini telah dilakukan penahanan," kata Asep dalam konferensi pers di KPK.

Dalam skandal korupsi beras bansos Kemensos, keterlibatan Kuncoro terjadi saat dia menjabat Direktur PT Bhanda Ghara Reksa (BGR). 

PT BGR diketahui ditunjuk oleh Kemensos untuk menyalurkan beras bansos periode 2020-2021.

Perkara ini bermula saat Kemensos menunjuk PT BGR sebagai pelaksana distribusi beras bansos Kemensos. 

PT BGR lalu menunjuk PT Primalayan Teknologi Persada (PTP) sebagai rekanan distributor.

Dalam pelaksanaannya, PT PTP tidak melakukan tugasnya sebagai distributor bansos. Namun penyidik KPK menemukan pembayaran ke PT PTP sebesar Rp 150 miliar.

Total ada enam orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi beras bansos Kemensos. 

Awalnya, tiga tersangka bernama Ivo Wongkaren, Richard Cahyanto, dan Roni Ramdani telah ditahan KPK pada Rabu (23/8).

Kemudian, Pada Jumat (15/9), KPK menahan dua tersangka lainnya, yaitu Budi Susanto (BS) selaku Direktur Komersial PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) periode 2018-2022 dan April Churniawan (AC) selaku Vice President Operasional PT BGR periode 2018-2021.

KPK Telusuri Transaksi Tersangka Kasus Korupsi Sistem Proteksi TKI Kemnaker


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) KPK telah memeriksa seorang pegawai bank bernama Ventho Daniel Batuan sebagai saksi kasus dugaan korupsi sistem proteksi TKI di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemnakertrans) tahun 2012. 

KPK mendalami transaksi perbankan yang dilakukan para tersangka kasus tersebut.

"Ventho Daniel Batuan (karyawan bank), saksi hadir dan didalami pengetahuannya antara lain terkait dengan berbagai transaksi perbankan dari para pihak yang ditetapkan sebagai Tersangka dalam perkara ini," kata Kabag Pemberitaan KPK Ali Fikri kepada wartawan, Senin (18/9/2023).

Ventho diperiksa di gedung KPK pada Jumat (15/9). Selain Ventho, KPK memanggil saksi lain dari pihak bank, Juliser Sigalingging. Namun saksi tak hadir dan akan dipanggil ulang.

"Saksi tidak hadir dan dijadwal ulang," jelas Ali.

Berdasarkan sumber detikcom, ada tiga orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. 

Ketiga tersangka itu ialah Sekretaris Badan Perencanaan dan Pengembangan Kemnaker I Nyoman Darmanta, Reyna Usman yang saat kasus ini terjadi menjabat Dirjen Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta pihak swasta bernama Karunia.

Kasus dugaan korupsi ini menyebabkan kerugian negara miliaran rupiah. KPK menyatakan sistem proteksi TKI tersebut tak berfungsi akibat korupsi.

Emirsyah Satar Didakwa Rugikan Negara Rp 9,3 Triliun


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan pesawat CRJ-1000 dan ATR 72-600. 

Jaksa menyebut total kerugian negara melalui PT Garuda Indonesia akibat perbuatan Emirsyah sebesar 609 juta dolar Amerika.

"Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, atau orang lain atau suatu korporasi, yaitu memperkaya diri Terdakwa Emirsyah Satar atau memperkaya orang lain yakni Agus Wahjudo Hadinoto Soedigno, Soetikno Sedarjo atau memperkaya korporasi yaitu Bombardier, ATR, EDC/Alberta sas dan Nordic Aviation Capital Pte, Ltd (NAC), yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, yaitu merugikan keuangan negara Cq PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk, seluruhnya sebesar USD 609.814.504," kata jaksa saat membacakan dakwaan di PN Tipikor Jakarta, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (18/9/2023).

Total kerugian negara senilai 609 juta dolar jika dirupiahkan senilai Rp 9,37 triliun dengan kurs rupiah saat ini. 

Jaksa menyebut Emirsyah Satar tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (fleet plan) PT Garuda Indonesia ke Soetikno Soedarjo. Padahal rencana pengadaan itu merupakan rahasia perusahaan.

"Terdakwa Emirsyah Satar secara tanpa hak menyerahkan rencana pengadaan armada (Fleet Plan) PT GA yang merupakan rahasia perusahaan kepada Soetikno Soedarjo untuk selanjutnya diteruskan kepada Bernard Duc yang merupakan Commercial Advisor dari Bombardier," ujar jaksa.

Emirsyah yang saat itu menjabat sebagai Direktur Utama PT Garuda Indonesia lalu mengubah rencana kebutuhan pesawat sub 100 seater dari kapasitas 70 seats menjadi 90 seats. 

Kapasitas 90 seats itu diubah tanpa lebih dulu ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP).

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk merubah rencana kebutuhan pesawat Sub 100 Seater dari yang semula dengan kapasitas 70 seats tipe Jet sesuai Hasil Kajian Feasibility Study Additional Small Jet Aircraft bulan Juli 2010 dan ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP) 2011-2015 yang disetujui oleh para Pemegang Saham dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) pada tanggal 15 November 2010 dengan kapasitas 90 Seats tipe jet tanpa terlebih dahulu ditetapkan dalam Rencana Jangka Panjang Perusahaan (RJPP)," ujarnya.

Emirsyah lalu memerintahkan VP Fleet Aquitition, PT Garuda Indonesia Adrian Azhar bersama VP Strategic Management Office (QP) PT Garuda Indonesia, Setijo Awibowo melakukan pengadaan pesawat sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats. 

Pengadaan pesawat itu tetap dilakukan meski belum masuk dalam RJPP PT Garuda Indonesia.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Adrian Azgar (meninggal dunia) sebagai VP (Vice President) Fleet Aquitition PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Setijo Awibowo selaku VP Strategic Management Office (QP) PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk untuk melakukan pengadaan Pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats padahal rencana pengadaan Pesawat Sub 100 seater dengan kapasitas 90 seats belum dimasukkan dalam RJPP PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ucapnya.

Lalu, lanjut Jaksa, Emirsyah memerintahkan Setijo dan Adrian Azhar membuat kajian kelayakan (Feasibility Study) pesawat sub 100 seater jet kapasitas 90 seats. 

Jaksa mengatakan pengadaan pesawat itu juga tak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Setijo Awibowo bersama-sama dengan Adrian Azhar membuat Feasibility Study (Kajian Kelayakan) pengadaan Pesawat Sub-100 seater tipe Jet kapasitas 90 seater yang belum ditetapkan dalam RJPP dan tidak dilengkapi dengan Laporan Hasil Analisa Pasar dan Laporan Hasil Analisa Kebutuhan Pesawat," ujarnya.

Emirsyah Satar juga memerintahkan tim pengadaan mengubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat tersebut untuk memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia. 

Emirsyah meminta pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) diubah menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result from.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk memerintahkan Setijo Awibowo, Agus Wahjudo, Albert Burhan, dan Adrian Azhar masing-masing selaku Tim Pengadaan merubah kriteria pemilihan dalam pengadaan pesawat jet Sub-100 dari pendekatan Analytical Hierarchy Process (AHP) menjadi pendekatan economic sub kriteria NVP (Net Value Present) dan Route Result, tanpa persetujuan dari Board Of Direction (BOD) dengan tujuan untuk memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ujarnya.

Jaksa mengatakan Emirsyah meminta pihak Bombardier membuat analisa kelebihan pesawat CRJ-1000 dibanding Embraer E-190. Hal itu dilakukan sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama Hadinoto Soedigno, Agus Wahjudo bersepakat dengan Soetikno Soedarjo, Bernard Duc dan Trung Ngo meminta pihak Bombardier untuk membuat data-data analisa tentang kelebihan pesawat Bombardier CRJ-1000 dibandingkan dengan Embraer E-190 berdasarkan perhitungan Net Present Value (NPV) dan Route Result pada kriteria economic, sebagai dasar memenangkan pesawat Bombardier dalam pemilihan armada di PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," ujarnya.

Jaksa mengatakan Emirsyah melakukan persekongkolan untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat. 

Padahal, jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Agus Wahjudo dan Hadinoto Soedigno selaku Direktur Teknik PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk dan merangkap selaku Direktur Produksi pada PT Citilink Indonesia melakukan persekongkolan dengan Soetikno Soedarjo selaku Comercial Advisory Bombardier dan ATR untuk memenangkan Bombardier dan ATR dalam pemilihan pengadaan pesawat pada PT GA, meskipun jenis pesawat Bombardier CRJ-1000 dan ATR 72-600 tidak sesuai dengan konsep bisnis PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk sebagai perusahaan penerbangan yang menyediakan layanan full service," tuturnya.

Kemudian direksi PT Citilink Indonesia menyetujui pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa melalui rapat direksi. Pengadaan pesawat itu juga tanpa melalui Feasibility Study (FS) yang memadai dan tak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT Citilink Indonesia.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT GA bersama-sama Albert Burhan, M Arif Wibowo dan Hadinoto Soedigno masing-masing selaku Direksi PT Citilink Indonesia tanpa melalui rapat direksi memberikan persetujuan untuk pengadaan pesawat Turbopropeller tanpa ada FS yang memadai serta belum ditetapkan dalam RJPP maupun RKAP, di mana tipe pesawat tersebut tidak sesuai dengan sistem layanan penerbangan Low Cost Carrier PT Citilink Indonesia yang kemudian dalam pengadaannya diambil alih oleh PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk," kata jaksa.

Jaksa mengatakan Emirsyah lalu melakukan pembayaran pre delivery payment pembelian pesawat ATR 72-600 sebesar USD 3.089.300. 

Pembayaran itu dilakukan Emirsyah bersama Direktur Keuangan PT Citilink Indonesia, Albert Burhan.

"Melakukan Pembayaran Pre Delivery Payment (PDP) Pembelian Pesawat ATR 72-600 kepada Manufacture ATR sebesar USD 3.089.300,00 padahal mekanisme pengadaan ATR dilakukan secara sewa," kata jaksa.

Kemudian, Emirsyah juga melakukan pembayaran pembelian pesawat CRJ-1000 sebesar USD 33.916.003,80. 

Jaksa mengatakan pengadaan pesawat itu padahal dilakukan secara sewa.

"Terdakwa Emirsyah Satar selaku Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk bersama-sama dengan Albert Burhan selaku VP Treasury PT. Garuda Indonesia Tbk melakukan pembayaran PDP pembelian Pesawat CRJ-1000 kepada Bombardier sebesar USD 33.916.003,80, padahal mekanisme pengadaan CRJ-1000 dilakukan secara sewa," ujarnya.

Jaksa menyakini Emirsyah Satar melanggar dengan Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 Jo Pasal 18 Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUH Pidana.

Senin, 18 September 2023

Sahat Tua P Simandjuntak Akui Terima Suap Hibah Pokir Rp2,750 Miliar, Bukan Rp39,5 Miliar


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak ngotot hanya menerima uang suap tidak sebesar yang didakwakan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Ia mengaku hanya menerima uang suap sebesar Rp2,750 miliar, bukan Rp39,5 miliar.

Hal itu dikatakan Sahat Tua P Simandjuntak saat menyampaikan nota pembelaan atau pledoi secara pribadi saat sidang di Pengdilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).

“Saya sudah menyatakan mengaku bersalah. Tetapi saya mohon izin untuk mengklarifikasi jumlah nominal yang didakwakan atau dituntutkan kepada saya, bukan sebesar Rp39,5 miliar,” kata Sahat Tua P Simandjuntak yang menjadi terdakwa dalam perkara korupsi dana hibah pokok-pokok pikiran (pokir) DPRD Jatim ini.

Menurut Sahat, uang suap yang diterima tersebut melalui anak buahnya Rusdi yang juga sebagai terdakwa.

“Yang saya terima dari Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi secara tidak langsung, hanya sepanjang 2022 melalui saudara Rusdi sebesar Rp 2,750 miliar," jelasnya.

Sahat juga merinci uang suap sebesar Rp 2,750 miliar yang diterima dari Rusdi itu melalui tiga tahapan.

"Yang Rp1 miliar tunai, Rp250 juta via transfer rekening Rusdi, Rp500 juta tunai, dan Rp1 miliar pada saat terjadinya OTT 14 Desember 2022,” ungkapnya.

Nah, sedangkan sisanya sebesar Rp 36,750 miliar, kata Sahat, sebagaimana kesaksian Hamid dan Ilham diberikan kepada almarhum Muhammad Chozin. 

“Uang itu tidak pernah saya terima. Saya tidak pernah kenal, tidak mengenal, dan bertemu Chozin,” katanya.

Sahat percaya, penyidik maupun JPU KPK pasti sudah memeriksa handphone-nya dan tidak ada rekam jejak digital, bukti riwayat chat, atau komunikasi dengan Chozin. 

Selain itu, Hamid dan Ilham tidak pernah menyaksikan Chozin menyerahkan uang secara berturut-turut hingga Rp36,750 miliar ke dirinya.

“Dalam fakta persidangan, saksi Hamid dan Ilham menyatakan baru mengenal saya tahun 2022 dan iitu pun karena mereka berdua datang ke kantor saya,” pungkasnya.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara

Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.

Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.

Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun. 

Dalam sidang tersebut JPU KPK  juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.

Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.

Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.

Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.

Bareskrim Tetapkan Bos Kresna Grup Jadi Tersangka Kasus Pencucian Uang


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Bareskrim Polri menetapkan pemilik Kresna Grup Michael Steve (MS) sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU) investasi bodong.

Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigjen Whisnu Hermawan mengatakan penetapan tersangka dilakukan penyidik usai melaksanakan gelar perkara, pada Senin (11/9) kemarin.

"Berdasarkan hasil gelar perkara yang telah dilakukan oleh penyidik Direktorat Tindak Pidana Eksus Bareskrim Polri, saudara MS ditetapkan sebagai tersangka," jelasnya kepada wartawan, Senin (18/9).

Dalam kasus TPPU tersebut, Whisnu menyebut total terdapat 4 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka. 

Berdasarkan perannya, MS bersama tiga tersangka lainnya OB, EH, dan MTN diduga menerbitkan produk investasi dengan menggunakan PT. Pusaka Utama Persada PT. Makmur Sejahtera Lestari serta PT. Kresna Sekuritas.

Padahal, kata dia, ketiga perusahaan tersebut tidak memiliki izin untuk bergerak di bidang manajer investasi. 

Selain itu, dana para nasabah juga dipergunakan oleh para tersangka tanpa sepengetahuan yang bersangkutan.

"Untuk perkara terkait gagal bayar para nasabah korban yang menempatkan dana pada PT. Pusaka utama persada dan PT. Makmur Sejahtera Lestari selaku perusahaan yang digunakan untuk menerima dana para nasabah korban dengan bentuk perjanjian jual beli saham menggunakan PT. Kresna Sekuritas," tuturnya.

Akibat perbuatan para tersangka, Whisnu menyebut total terdapat 9 investor yang menjadi korban dan mengalami kerugian senilai Rp337,4 miliar.

"Dalam penyidikan TPPU, penyidik akan melakukan tracing asset terkait hasil kejahatan para tersangka dan akan dijadikan barang bukti untuk mengembalikan kerugian para korban," jelasnya.

Atas perbuatannya para tersangka dijerat Pasal 103 jo Pasal 30 UU Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal dan atau Pasal 372, 378 KUHP serta Pasal 3,4,5 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang TPPU dengan ancaman pidana maksimal 20 tahun penjara dan denda sebesar Rp10 miliar.

Sabtu, 16 September 2023

KPK Tahan 2 Mantan Petinggi PT BGR Terkait Korupsi Bansos Beras


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) KPK menahan Direktur Komersial PT Bhanda Ghara Reksa (BGR) periode 2018-2021 Budi Susanto dan Vice President Operasional PT BGR periode 2018-2021 April Churniawan selaku tersangka kasus dugaan korupsi bantuan sosial beras.

"Untuk kebutuhan proses penyidikan, tim penyidik menahan tersangka BS dan tersangka AC di Rutan KPK masing-masing selama 20 hari pertama terhitung 15 September 2023 sampai dengan 4 Oktober 2023," ujar Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron dalam jumpa pers di Kantornya, Jakarta, Jumat (15/9) malam.

"Kami ingatkan pada tersangka MKW [M. Kuncoro Wibowo, Direktur PT BGR periode 2018-2021] untuk kooperatif hadir kembali pada pemanggilan selanjutnya," sambungnya.

KPK telah menjerat enam tersangka dalam kasus dugaan korupsi penyaluran bansos beras untuk keluarga penerima manfaat program keluarga harapan (KPM PKH) tahun 2020-2021 di Kementerian Sosial (Kemensos) yang mengakibatkan kerugian keuangan negara sebesar Rp127,5 miliar.

Tiga tersangka lainnya yaitu Direktur Utama Mitra Energi Persada (MEP) sekaligus Ketua Tim Penasihat PT Primalayan Teknologi Persada (PTP) Ivo Wongkaren; Tim Penasihat PT PTP Roni Ramdani; dan General Manajer PT PTP sekaligus Direktur PT Envio Global Persada (EGP) Richard Cahyanto.

Mereka sudah lebih dulu ditahan oleh KPK.

Para tersangka disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor).

Jumat, 15 September 2023

KPK Geledah Rumah Dinas Bupati Lamongan Dalami Kasus Korupsi Pembangunan Gedung


KABARPROGRESIF.COM: (Jakarta) Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Penindakan dan Eksekusi KPK Asep Guntur Rahayu mengatakan, penggeledahan yang terjadi rumah dinas Bupati Lamongan, Jawa Timur, Yuhronur Efendi terkait dugaan korupsi pembangunan gedung. 

Adapun pelaksana proyek pembangunan tersebut adalah Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Kabupaten Lamongan. 

“Kasus baru, pembangunan gedung di pemerintah daerah di sana. Pemkab (pemerintah kabupaten) berarti ya,” kata Asep saat ditemui awak media di Gedung Juang KPK, Jakarta Selatan, Jumat (15/9/2023). 

Asep menambahkan, dugaan korupsi itu menyangkut dugaan perbuatan melawan hukum dan memperkaya orang lain yang membuat negara rugi. 

Adapun kasus korupsi dugaan kerugian negara yang bisa diusut KPK minimal Rp 1 miliar. 

“Tersangkanya nanti lah diumumkan,” ujar Asep. 

Selain menggeledah rumah dinas Bupati Lamongan, KPK juga menggeledah kantor Dinas PUPR Pemkab Lamongan, sejumlah perkantoran di lingkungan Pemkab Lamongan, dan pihak swasta. 

“Pokoknya tempat-tempat yang kita duga terkait dengan tindak pidana tersebut,” tuturnya. 

Diberitakan sebelumnya, berdasarkan pantauan di Lamongan, petugas KPK membawa sejumlah barang setelah menggeledah kantor Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Lamongan.

Barang tersebut di antaranya, dua koper warna hitam dan biru muda, tas wanita, bungkus plastik merah, dua tas ransel, serta sebuah karton kardus, yang ditengarai berisi dokumen. 

"Ada banyak tadi. Sembilan orang, katanya dari KPK," ujar petugas keamanan di kantor Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman dan Cipta Karya Lamongan, Kirna kepada awak media, Rabu (13/9/2023). 

Korupsi Dana Zakat Rp 1,2 M, Eks Ketua Baznas Tanjabtim Jadi Tersangka


KABARPROGRESIF.COM: (Tanjung Jabung Timur) Kejaksaan Negeri Tanjung Jabung Timur (Tanjabtim) menetapkan mantan Ketua Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) Tanjabtim As'ad Arsyad sebagai tersangka kasus penyelewengan dana Zakat, Infak, Sedekah (ZIS).

Penyelewengan dana zakat itu terjadi sekitar tahun 2016-2021 saat dirinya menjabat dengan total kerugian negara Rp 1,2 miliar.

As'ad Arsyad ditetapkan setelah menjalani pemeriksaan pada Kamis (14/9/2023). 

Ia langsung dilakukan penahanan pada Kamis malam. Ia terlihat menggunakan rompi tahanan berwarna merah muda lalu digiring oleh jaksa untuk dilakukan penahanan.

"Satu orang yang ditetapkan tersangka berinisial AA merupakan mantan Ketua Baznas Periode 2016 hingga 2021," kata Bambang Kasi Intelijen Kejari Tanjabtimur kepada wartawan, Jumat (15/9/2023).

Proses pengungkapan kasus tersebut sudah berlangsung cukup lama sejak tahun 2022 lalu. Pihaknya telah melakukan pemeriksaan dan mengumpulkan bukti-bukti.

Setelah dirasa cukup bukti, kata Bambang, baru pihaknya menetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1.247.717.051, berdasarkan audit penghitungan keuangan negara.

"Untuk pengembalian kerugian dari tersangka sekitar Rp. 800 juta. Jumlah pengembalian itu sudah masuk dalam jumlah keseluruhan kerugian negara yang dihitung," sebutnya.

Bambang menyebut dari hasil pemeriksaan sementara, dana tersebut dipergunakan untuk renovasi pondok pesantren dan untuk kebutuhan yang lainnya.

"Berdasarkan hasil penyelidikan sementara, dana tersebut diselewengkan untuk renovasi pondok pesantren dan digunakan bukan pada peruntukannya," jelasnya.

Tersangka disangkakan melanggar primer Pasal 2 Ayat 1 junto Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 41 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentang perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan ancaman minimal 4 tahun maksimal 20 tahun kurungan dan denda Rp 200 juta maksimal Rp 1 M.

Sedangkan untuk subsidernya, Pasal 3 junto Pasal 18 Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah Undang-undang RI Nomor 20 Tahun 2021 tentan perubahan atas Undang-undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantas tindak pidana korupsi, dengan minimal 1 tahun kurungan dan maksimal 20 tahun, sedangkan denda Rp 50 jt maksimal Rp 1 M.

"Untuk saat ini, tersangka masih dalam Proses penahanan di Polres Tanjabtimur selama 20 hari ke depan, dan selanjutnya akan diperpanjang masa tahan selama 40 hari," pungkasnya.

Sidang Korupsi Dana Hibah Pemprov Jatim, Sahat Bacakan Pledoi, Rusdi Minta Keringanan Hukuman


KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan dana hibah Pemprov Jatim dengan terdakwa Wakil Ketua DPRD Jatim nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak dan ajudannya yakni Rusdi kembali digelar di Pengadilan Tipikor Surabaya, Jum'at (15/9).

Kali ini beragendakan pledoi atau nota pembelaan.

Dalam sidang tersebut masing-masing kuasa hukum dari dua terdakwa secara bergantian menyampaikan nota pembelaannya.

Tak ayal dalam sidang tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama.

Untuk nota pembelaan terdakwa Rusdi yang dibacakan kuasa hukumnya membutuhkan waktu sekitar 45 menit.

Sedangkan pembacaan pledoi terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak oleh kuasa hikumnya butuh waktu yang lumayan lama sekitar 1 jam 30 menit.

Selain kuasa hukumnya, kedua terdakwa ini juga menyampaikan nota pembelaannya secara pribadi.

Sayangnya saat giliran terdakwa Rusdi membacakan nota pembelaannya.

Tiba-tiba Rusdi mengurungkan niatnya. Ia memilih memberikan beberapa lembar kertas berwarna putih nota pledoinya kepada mejelis hakim yang diketuai I Dewa Gede Suarditha, SH. MH dan dua hakim anggota yakni Arwana, SH. MH serta Darwin Panjaitan, SH. MH. Serta JPU KPK.

"Jadi ini intinya supaya diringankan hukumannya," kata Ketua Majelis Hakim, I Dewa Gede Suarditha, SH. MH.

"Iya, yang mulia," jawab terdakwa Rusdi.

Sementar terdakwa Sahat Tua P Simandjuntak membacakan pledoinya sekitar 15 menit.

Sebelumnya Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menuntut Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak 12 tahun penjara

Tak hanya itu, Hak politik Sahat Tua P Simandjuntak juga dicabut selama lima tahun terhitung ketika terpidana selesai menjalani masa pemidanaan.

Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak juga dituntut membayar denda sebesar Rp1 miliar subsidair kurungan enam bulan.

Bahkan politisi asal Partai Golkar ini juga harus membayar uang pengganti sebesar Rp39,5 miliar.

Nah, jika tidak bisa membayar uang pengganti selama satu bulan maka harta miliknya disita oleh negara dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, jika tidak sanggup membayar, diganti dengan pidana penjara selama enam tahun. 

Dalam sidang tersebut JPU KPK  juga menuntut Rusdi sebanyak empat tahun penjara.

Rusdi juga diwajibkan membayar denda sebesar Rp200 juta, atau subsider pidana penjara pengganti selama enam bulan.

Sahat Tua P Simandjuntak ini dinilai oleh JPU KPK telah melanggar Pasal 12 huruf a Jo Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Sahat juga dianggap menerima suap dari dua terdakwa lainnya yaitu Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi selaku pengelola kelompok masyarakat (pokmas) tahun anggaran 2020-2022.

Berdasarkan pembuktian uang Rp39,5 miliar terbukti diterima terdakwa Sahat melalui terdakwa Rusdi.

Seperti diberitakan dalam kasus ini, KPK menjerat Wakil Ketua DPRD Jawa Timur nonaktif, Sahat Tua P Simandjuntak sebagai tersangka.

Ia diduga menerima suap terkait dana hibah untuk kelompok masyarakat yang ada di Madura.

Kasus ini terkait dana hibah yang bersumber dari APBD Pemprov Jatim. Dalam tahun anggaran 2020 dan 2021, APBD Pemprov Jatim merealisasikan dana belanja hibah dengan jumlah seluruhnya sekitar Rp7,8 triliun kepada badan, lembaga, organisasi masyarakat yang ada di Jawa Timur.

Praktik suap diduga sudah terjadi untuk dana hibah tahun anggaran 2020 dan 2021.

Sahat yang merupakan politikus Golkar lalu Ajudannya Ruadi kemudian Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi diduga kemudian bersepakat untuk praktik tahun anggaran 2022 dan 2023.

Dalam dakwaanya terhadap Abdul Hamid dan Ilham Wahyudi, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Arief Suhermanto mengatakan, uang sebasar Rp39 miliar itu diterima Sahat sebagai kompensasi atas perannya memuluskan proses pencairan dana hibah untuk beberapa Pokmas.

"Dana tersebut diberikan kedua terdakwa pada Sahat agar memberikan jatah alokasi dana hibah pokok-pokok pikiran (Pokir) untuk Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2022 dan jatah alokasi dana hibah yang akan dianggarkan dari APBD Provinsi Jawa Timur Tahun Anggaran 2023 sampai dengan 2024 kepada para terdakwa," kata JPU KPK Arief Suhermanto.

Hal yang sama juga dikatakan Majelis Hakim dalam persidangan tersebut, bila Sahat Tua P Simandjuntak mendapat jatah dana hibah sebesar Rp98.003.172.000 untuk 490 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bondowosao, Malang, Mojokerto, Pamekasan, Sampang dan Situbondo.

Pada TA 2021 sebesar Rp66.322.500.000 untuk 377 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Blitar, Bodowoso, Jember, Jombang, Kediri, Lumajang, Magetan, Malang, Pamekasan, Probolinggo, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, Sumenep, Tuban, dan Tulungangung.

Berikutnya TA 2022 sebesar Rp77.598.394.000 untuk 655 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Bondowoso, Gresik, Jember, Ngawi, Pamekasan, Pasuruan, Sampang, Sidoarjo, Situbondo, dan Sumenep.

Sedangkan untuk TA 2023 sebesar Rp28.555.000.000 untuk 151 Pokmas yang tersebar di Bangkalan, Lumajang, Ngawi, Pacitan, Pamekasan, Sampang, dan Sumenep.

Wakil Ketua DPRD Jatim dari Fraksi Partai Golkar, Sahat Tua P Simanjuntak yang disuap Hamid dan Ilham secara ijon sejak proyeksi APBD Tahun Anggaran (TA) 2020 hingga 2023 mengantongi hingga Rp39,5 miliar yang diberikan secara bertahap.

Sahat sebelumnya tercatat sebagai anggota DPRD Jatim periode 2009-2014 dan 2014-2019 mengantongi jatah alokasi hibah pokir hingga Rp270 miliar dari APBD sejak TA 2020 dari total hibah Rp8,2 triliun untuk seluruh anggota DPRD Jatim.