Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Pilkada Surabaya 2024 Tanpa Bakal Calon Perseorangan

KPU Kota Surabaya menyatakan pemilihan kepala daerah tahun 2024 tanpa diikuti pasangan bakal calon kepala daerah perseorangan karena faktor kurangnya syarat dukungan yang harus dipenuhi oleh para bakal calon tersebut.

Wali Kota Eri Cek Penggunaan Dana Kelurahan

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi blusukan ke perkampungan untuk mengecek penggunaan Dana Kelurahan (Dakel) yang digunakan untuk membangun saluran.

Bapaslon Independen Pilkada Kecewa Sikap KPU Surabaya

Bapaslon independen Pilkada Surabaya, Pandu Budi Raharjono-Kusrini Purwijanti menyasalkan sikap komisioner KPU Surabaya yang tak mau menerima copy data pendukung meskipun hanya terlambat cuma dua menit.

Sambut HJKS ke-731, Pegawai Pemkot Surabaya Cat Ulang Curbing Median Jalan

Menyambut Hari Jadi Kota Surabaya ke-731, seluruh pegawai di lingkup Pemkot Surabaya melakukan kerja bakti dengan mengecat ulang curbing median jalan atau pembatas jalan yang meliputi 51 ruas jalan di Kota Surabaya.

Pemkot Surabaya Bangun 8 Wisata Rakyat

Upaya Pemkot Surabaya memanfaatkan aset agar memberikan kontribusi sekaligus menciptakan lapangan kerja antara lain dilakukan dengan membangun Wisata Rakyat di 8 lokasi, khususnya di wilayah Surabaya Barat.

Sabtu, 19 Juli 2014

Kota Surabaya Raih Predikat Kepatuhan Pelayanan Publik dari Ombudsman RI


KABARPROGRESIF.COM : Lembaga negara pengawas pelayanan publik, Ombudsman RI, memberikan predikat kepatuhan terhadap UU Pelayanan Publik kepada 78 instansi negara. Para penerima penghargaan tersebut terdiri atas 17 kementerian, 12 lembaga negara, 21 pemerintah provinsi dan 26 pemerintah kota. Nah, Surabaya merupakan salah satu di antaranya.

Walikota Surabaya Tri Rismaharini menerima penghargaan tersebut secara langsung dari Menkopolhukam Djoko Suyanto yang didampingi Ketua Ombudsman RI Danang Girindrawardana pada Jumat lalu (18/7) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta.

Berdasar surat Ombudsman RI nomor 710/ORI-Srt/VII/2014 disebutkan, ada 14 SKPD di Kota Surabaya yang masuk dalam zona hijau. Yakni, dinas cipta karya dan tata ruang (DCKTR), dinas PU bina marga, unit pelayanan terpadu satu atap (UPTSA), administrasi kependudukan pada dispendukcapil, pelayanan rumah sakit RSUD dr. Soewandhie, perizinan dinas kesehatan, dan dinas pendapatan dan pengelolaan keuangan (DPPK).

Di samping itu, badan lingkungan hidup (BLH), dinas pengelolaan bangunan dan tanah (DPBT), PDAM Surya Sembada, badan kepegawaian dan diklat (BKD), dinas sosial, bakesbanglinmas, dan dinas pendidikan.

Artinya, SKPD-SKPD tersebut dinilai memiliki standar kepatuhan tinggi terhadap UU 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Sebagaimana tertuang dalam pasal 15 dan bab V UU tersebut, bahwa sebuah unit layanan harus menyampaikan informasi, di antaranya mengenai kejelasan waktu, prosedur, persyaratan dan biaya layanan.

Adapun proses penilaian yang dilakukan Ombudsman menggunakan metode obsrevasi tanpa pemberitahuan dan mengikuti standar kode etik Ombudsman.

Danang Girindrawardana mengatakan, penyampaian predikat kepatuhan ini merupakan salah satu bentuk apresiasi atas usaha peningkatan kualitas pelayanan publik di tingkat unit layanan. Penganugerahan ini sekaligus juga memperingati lima tahun kelahiran UU 25/2009 Tentang Pelayanan Publik.

“Sudah saatnya birokrasi kita menjadi birokrasi yang turun tangan untuk menggiatkan peningkatan kualitas pelayanan publik," terang Danang.

Pada kesempatan itu, Tri Rismaharini menyampaikan, Pemkot Surabaya terus berupaya membuat pelayanan publik semakin praktis dan efisien. Salah satu wujud konkretnya yakni melalui sistem perizinan online Surabaya Single Window (SSW). Melalui SSW, pemohon dapat mengakses perizinan kapan pun dan dimana pun. Di samping itu, pemrosesan berkas perizinan kini lebih praktis karena segala sesuatunya serba elektronik. “Sebelumnya, dengan sistem manual, prosesnya jauh lebih panjang dan ribet. Tapi, kini tidak lagi. Masyarakat juga dapat memantau berkas perizinannya sudah sejauh mana,” katanya.

Risma mengungkapkan, kunci sukses Surabaya terletak pada pemanfaatan teknologi informasi dalam pelayanan publik. Hal itu diakui sangat membantu ditengah keterbatasan jumlah pegawai negeri di Pemkot Surabaya. “Rata-rata pegawai yang pensiun tiap tahunnya 800 orang. Sedangkan, tahun lalu pegawai baru yang masuk hanya sekitar 300-an orang. Kalau tidak memanfaatkan teknologi informasi kami sadar akan kerepotan. Makanya, sekarang semua serba elektronik,” ujar mantan kepala Bappeko Surabaya ini.

Dia berharap, dengan diraihnya predikat kepatuhan ini, ke depan akan terus lahir inovasi-inovasi demi memudahkan masyarakat. Risma juga menginginkan para abdi masyarakat tidak cepat puas. Sebaliknya, mereka harus terus memberikan pelayanan terbaik kepada masyarakat.(*/arf)

Jumat, 18 Juli 2014

Wilayah Eks-Lokalisasi Terbukti Tertinggi Penderita HIV/AIDS



KABARPROGRESIF.COM : Beberapa kawasan di Kota Surabaya yang sebelumnya berdiri tempat-tempat lokalisasi, menjadi kantong-kantong (sumber) kemunculan penyakit HIV/AIDS. Data dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya menunjukkan, angka kasus HIV/AIDS di beberapa kawasan di Surabaya seperti Benowo, Krembangan, Pabean Cantikan, Sawahan, dan Wonokromo cukup tinggi. Sebelumnya, di kawasan tersebut berdiri lokalisasi atau karena berdekatan dengan lokalisasi. Lokalisasi tersebut kemudian dialihfungsikan oleh Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya.

“Kasus HIV/AIDS banyak ditemukan di kawasan tersebut dikarenakan dampak dari keberadaan lokalisasi. Selain itu, di kawasan itu juga terdapat hot spot seperti tempat hiburan. Di kawasan lain seperti Gubeng, Sukolilo dan Rungkut juga ada, tetapi tidak sebesar di daerah tersebut,” jelas dr. Mira Novia M.Kes, Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Kota Surabaya dalam jumpa pers di kantor Bagian Humas Pemkot Surabaya, Kamis (17/7).

Dijelaskan Mira, keberadaan kantong-kantong berupa lokalisasi dan hot spot itulah yang membuat angka penderita  HIV/AIDS di Surabaya lumayan tinggi. Berdasarkan data Dinkes, selama periode Januari hingga Mei 2014, ditemukan 281 kasus dengan rincian 171 HIV dan 110 AIDS.  Ironisnya, jumlah penderitanya didominasi oleh mereka yang berusia produktif. Untuk tahun 2013 lalu, di Surabaya ada 754 kasus dengan rincian 501 HIV dan 253 AIDS. Sementara di tahun 2012, ditemukan 752 kasus dengan rincian 418 kasus HIV dan 300 AIDS. Keberadaan Puskesmas di Surabaya yang dilengkapi Voluntary Counseling Test (VCT) membuat keberadaan penderita HIV/AIDS bisa cepat terdeteksi.

“Dengan lokalisasi di Surabaya sudah ditutup, harapan kami angka ini bisa terus menurun. Sebenarnya warga Surabaya nya ndak banyak. Yang banyak itu warga dari luar Surabaya. Tapi, untuk penanganannya kan, kita tidak melihat darimana mereka berasal,” sambung Mira.

Pemkot Surabaya sudah melakukan upaya pro aktif untuk menangani masalah ini. Ketika di Surabaya masih berdiri lokalisasi, Dinkes sudah melakukan upaya penyuluhan kepada para pekerja seks komersial (PSK) maupun warga terdampak. Berawal dari penyuluhan, ada beberapa dari mereka yang kemudian bersedia memeriksakan diri. “

Pascapenutupan lokalisasi, Mira mengatakan bahwa Dinkes Kota Surabaya memeriksa 486 orang PSK. Dari jumlah tersebut, sebanyak 45 orang diketahui positif. Tetapi tidak semuanya penderita baru. Sebagian adalah penderita lama. Mereka kebanyakan berasal dari luar kota seperti Bandung, Indramayu, Malang dan Jember.  “Ada wisma yang tidak berkenan (diperiksa) karena beralasan memiliki dokter sendiri,” ujarnya.

Untuk penanganan, selain berkoordinasi dengan Dinkes Provinsi Jatim, Dinkes Kota Surabaya juga menyurati Dinkes tempat tinggal para PSK tersebut berdasarkan Kartu Tempat Tinggal (KTP). Dinkes Kota Surabaya juga bekerja sama dengan lintas sektor untuk memperkuat upaya pencegahan penularan HIV/AIDS. “Kami bekerja sama dengan Dinas Pariwisata Kota Surabaya untuk melakukan pemeriksaan di tempat-tempat yang berpotensi sebagai tempat transaksi seks. Termasuk juga bekerja sama dengan LSM untuk masuk ke komunitas yang berisiko,” sambung Mira.

Sementara dr. Ita Puspita Dewi, SpKK dari RSUD Soewandhi menambahkan, orang yang mengidap HIV, secara kasat mata tidak terlihat sakit. Sebab, mereka bisa beraktivitas normal. Mereka baru terlihat sakit ketika dilakukan pemeriksaan. Dijelaskan Ita, sejak tahun 2005, pihaknya sudah mobile ke titik-titik yang berisiko seperti misalnya panti pijat.

“Seluruh ibu hamil di Surabaya juga harus dilakukan pemeriksaan HIV. Ini untuk pemutusan dini supaya bayinya tidak ikut terkena. Termasuk di 62 Puskemas di Surabaya, ibu hamil pertama kali dites HIV. Sebab, penularan HIV ke anak bisa melalui asupan makanan. Makanya, bila ditemukan, kami kemudian melakukan terapi untuk memperkuat imun ke ibunya sehingga virusnya bisa tertekan,” jelas Ita.

Selain masalah HIV/AIDS, kawasan bekas lokalisasi ternyata juga menjadi prioritas untuk dilakukan  rehabilitasi. Ini karena angka penyakit, baik penyakit menular maupun penyakit karena lingkungan, cukup tinggi. Mira Novia, Kepala Bidang Pengendalian Masalah Kesehatan Dinkes Kota Surabaya mencontohkan angka penyakit di Kelurahan Putat Jaya yang merupakan kawasan lokalisasi Dolly. Dari data yang ada dari Januari-Juli 2014, penyakit berbasis lingkungan seperti demam berdarah, diare, ispa cukup tinggi. Untuk DBD ada 21 kasus, diare ada 476 kasus. Sementara untuk penyakit menular seperti TBC ada 25 kasus.

“Dengan ditutupnya lokalisasi, yang kita harapkan menurun adalah penyakit menular langsung. Untuk penyakit berbasis lingkungan kan bisa turun kalau ada kesadaran warganya terkait perilaku. Makanya, Dinkes akan melakukan intervensi dengan terus melakukan edukasi,” imbuh Mira.(*/arf)