Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Pilkada Surabaya 2024 Tanpa Bakal Calon Perseorangan

KPU Kota Surabaya menyatakan pemilihan kepala daerah tahun 2024 tanpa diikuti pasangan bakal calon kepala daerah perseorangan karena faktor kurangnya syarat dukungan yang harus dipenuhi oleh para bakal calon tersebut.

Wali Kota Eri Cek Penggunaan Dana Kelurahan

Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi blusukan ke perkampungan untuk mengecek penggunaan Dana Kelurahan (Dakel) yang digunakan untuk membangun saluran.

Bapaslon Independen Pilkada Kecewa Sikap KPU Surabaya

Bapaslon independen Pilkada Surabaya, Pandu Budi Raharjono-Kusrini Purwijanti menyasalkan sikap komisioner KPU Surabaya yang tak mau menerima copy data pendukung meskipun hanya terlambat cuma dua menit.

Sambut HJKS ke-731, Pegawai Pemkot Surabaya Cat Ulang Curbing Median Jalan

Menyambut Hari Jadi Kota Surabaya ke-731, seluruh pegawai di lingkup Pemkot Surabaya melakukan kerja bakti dengan mengecat ulang curbing median jalan atau pembatas jalan yang meliputi 51 ruas jalan di Kota Surabaya.

Pemkot Surabaya Bangun 8 Wisata Rakyat

Upaya Pemkot Surabaya memanfaatkan aset agar memberikan kontribusi sekaligus menciptakan lapangan kerja antara lain dilakukan dengan membangun Wisata Rakyat di 8 lokasi, khususnya di wilayah Surabaya Barat.

Jumat, 01 Mei 2015

Pilkada Surabaya PDIP BAKAL Calonkan Risma dan Wisnu

KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) DPD Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Jawa Timur memastikan bahwa Tri Rismaharini dan Wisnu Sakti Buana akan didaftarkan sebagai calon kepala daerah oleh DPC PDIP Kota Surabaya.

Hal itu disampaikan Sekretaris DPD PDIP Jatim, Sri Untari, Kamis (30/04/2015).

Ia mengatakan, total calon kepala daerah yang telah diajukan masing-masing DPC PDIP fit and proper test pada Minggu 3 Mei 2015, sebanyak 57 orang. Mereka berasal dari internal kader maupun eksternal kader PDIP.

Ditanya terkait calon dari PDIP yang bakal akan didaftarkan ke pihak DPD untuk maju dalam Pilwali Surabaya, ia menyebut hanya ada dua kepastian nama calon. “Untuk Surabaya yang beredar ya dua nama itu, Bu Risma dan Pak Wisnu. Kami realistis lah dalam melihat calon, mana yang diminati oleh rakyat. Dan dalam menentukan siapa calon yang akan kita usung, nanti ada proses berikutnya akan kita berikan ikatan khusus,” ungkapnya.

Kendati begitu, Sri Untari enggan menjelaskan apakah DPC PDIP Surabaya akan kembali diduetkan Risma dan Wisnu, atau keduanya diajukan menjadi bakal calon walikota agar salahsatunya mendapat rekomendasi.

Sri Untari mengakatakan, pihaknya mengaku akan etap memprioritaskan kadernya yang akan maju dalam Pilkada nanti. Dengan catatan memiliki nilai jual dibanding nama lainnya berdasarkan hasil survei. Tapi kalau nama kadernya sendiri kurang diminati oleh masyarakat, maka PDIP akan realistis mengusung orang dari luar kadernya.

“Kita akan realistis memilih calon berdasar survei, bisa saja kita mengusung dari luar kader dengan syarat punya ideologi yang sama dengan PDIP,” imbunya.

Diberitakan sebelumnya, mantan Sekjen PDIP, Pramono Anung memberi sinyal bahwa PDIP tetap akan mengusung Tri Rismaharini (Risma) dalam Pilwali Surabaya Tahun 2015. Dan yang jadi pasangannya adalah Wisnu Sakti Buana (Wisnu).

Hal itu disampaikan Pramono di sela-sela pelaksanaan Kongres ke IV PDI Perjuangan di Sanur, Bali pada 10 April lalu. “Surabaya sudah selesai, Risma dan Wisnu akan kami usung kembali,” ucapnya.

Alasannya, partai melihat duet Risma dan Wisnu berhasil memimpin Surabaya. Sehingga, keduanya didorong untuk maju lagi di Pilwali 2015. (arf)

PN Surabaya Respon Positif Putusan MK, Pengacara Toba Siahaan Berpendapat Beda

Terkait Penetapan Tersangka Termasuk Obyek Praperadilan 

KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Burhanudin selaku Humas Pengadilan Negeri (PN) Surabaya merespon positif atas putusan Mahkamah Konstitusi terkait penetetapan tersangka masuk dalam obyek praperadilan.

MK mengubah ketentuan Pasal 77 KUHAP tentang obyek praperadilan. Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan.

Menurut Burhanudin, putusan tersebut merupakan pembelajaran bagi penyidik baik Kepolisian Maupun Kejaksaan agar lebih berhati-hati dan tidak terlalu mudah menetapkan seseorang menjadi tersangka.

" Bisa menjadi kontrol penyidik agar tidak seenaknya menetapkan tersangka, jangan karena memilik kewenangan sehingga merasa menjadi super body dan meninggalkan  keprofesionalan dan sumpah jabatannya, "jelasnya saat dikonfirmasi diruang kerjanya, PN Surabaya,Kamis (30/4/2015).

Dijelaskan Burhanudin, sepanjang bulan Januari hingga April ditahun 2015 ini, pihaknya telah menerima 9 permohonan praperadilan. Dari jumlah tersebut, rata-rata menyinggung masalah penahanan dan  penangkapan.  "Kalau masalah penetapan tersangka memang belum ada, kan baru kemarin diputus MK,"ujarnya.

Menurut Burhanudin, tak menutup kemungkinan, putusan MK tersebut akan berdampak bertambahnya jumlah pemohon praperadilan di PN Surabaya."Pastinya akan berdampak pada jumlah perkara yang masuk,"katanya.

Terpisah, pendapat berbeda dilontarkan Toba Siahaan, Advokat yang tinggal di Surabaya. Menurutnya, masuknya penetapan tersangka dalam obyek praperadilan sangatlah tidak tepat. Dia beralasan, permohonan praperadilan bukan berbicara masalah materi perkara, melainkan soal prosedur proses penanganannya.

"Bicara tentang tersangka berarti bicara tentang pembuktian dan itu tidak masuk materi perkara," jelasnya di PN Surabaya.

Menurut Toba, untuk menjadikan seseorang tersangka membutuhkan  sejumlah tahapan yang harus dilalui, melalui pemeriksaan dan bukti bukti." jika bukti bukti tersebut dinilai cukup kuat barulah penyidik menetapkan seaeorang tersebut menjadi tersangka,"sambungnya.

Meski putusan MK tersebut dapat menguntungkan posisinya sebagai seorang advokat, namun Toba tak memandang demikian, dia lebih menekankan kepada konsekuensi yang diberikan negara terhadap para terdakwa  yang dihukum bebas oleh Pengadilan.

Selain merehabilitasi nama baik terdakwa, semestinya negara harus membayar besar, hal itu dilakukan supaya penyidik lebih berhati-hati dalam menetapkan tersangka.

"Karena masih banyak penyidik polisi dan jaksa yang dengan mudah menetapkan tersangka dan di P21 oleh jaksa, intinya mereka tidak mendahulukan pembuktian dulu, mereka beranggapan masalah pembuktian dibuktikan di pengadilan, itu yang menyebabkan hukum di negeri ini menjadi konyol,"terangnya.

Untuk memberikan efek jera,penyidik harus diberikan sanksi yang signifikan."bila perlu sanksi pemecatan,"tegasnya.

Seperti diketahui, penetapan tersangka masuk obyek praperadilan ini diputuskan hakim MK pada Rabu (23/4/2015). Putusan itu merupakan uji materi yang diajukan terpidana kasus bio remediasi Chevron. Dia mengajukan  permohonan uji materi terhadap Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Alhasil, permohonanya dikabulkan hakim MK melalui putusan dissenting opinion (pendapat berbeda) dan occurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 hakim konstitusi, 3 hakim konstitusi yang mengajukan dissenting opinion yakni I Gede Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi yang mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.

MK beralasan KUHAP tidak memberi penjelasan mengenai batasan jumlah (alat bukti) dari frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup”. Berbeda dengan Pasal 44 ayat (2) UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengatur secara jelas batasan jumlah alat bukti, yakni minimal dua alat bukti.

“Frasa ‘bukti permulaan’, ‘bukti permulaan yang cukup’, dan ‘bukti yang cukup’ dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1) KUHAP harus ditafsirkan sekurang-kurangnya dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP disertai pemeriksaan calon tersangkanya, kecuali tindak pidana yang penetapan tersangkanya dimungkinkan dilakukan tanpa kehadirannya (in absentia).

Mahkamah menganggap syarat minimum dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka untuk transparansi dan perlindungan hak asasi seseorang agar sebelum seseorang ditetapkan sebagai tersangka telah dapat memberi keterangan secara seimbang. Hal ini menghindari adanya tindakan sewenang-wenang oleh penyidik terutama dalam menentukan bukti permulaan yang cukup itu.

Sementara dalam pranata praperadilan, meski dibatasi secara limitatif dalam Pasal 1 angka 10 jo Pasal 77 huruf a KUHAP. Namun, penetapan tersangka adalah bagian dari proses penyidikan yang terbuka kemungkinan terdapat tindakan sewenang-wenang oleh penyidik yang termasuk perampasan hak asasi seseorang. Memang Pasal 1 angka 2 KUHAP kalau diterapkan secara benar tidak diperlukan pranata praperadilan. Namun, bagaimana kalau ada yang salah dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka?

Sehingga  penetapan tersangka menjadi bagian dari proses penyidikan yang dapat dimintakan perlindungan melalui pranata praperadilan. Alasannya bahwa pada saat KUHAP diberlakukan pada tahun 1981, penetapan tersangka belum menjadi isu krusial dan problematik dalam kehidupan masyarakat Indonesia.

Demikian pula, dalam putusan MK bernomor 65 /PUU-IX/2011 yang menghapus keberadaan Pasal 83 ayat (2) KUHAP. Dalam pertimbangan putusan itu, disebutkan sistem praperadilan sebagai salah satu mekanisme kontrol terhadap kemungkinan tindakan sewenang-wenang oleh penyidik/penuntut umum dalam melakukan penangkapan, penggeledahan, penyitaan, penyidikan, penuntutan, penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan. (Komang)