Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Gempa Tuban, Robohkan Lima Bangunan di Surabaya

Lima bangunan roboh di Surabaya terdampak gempa yang berpusat di Timur Laut Tuban, salah satunya bangunan di RSUD Soewandhie.Tetapi sejauh ini tak ditemukan korban jiwa.

Dibuka 25 Maret, Ayo Daftar - Dishub Jatim Sediakan Mudik Gratis dengan Kapal Laut

Pendaftaran Mudik Gratis Melalui Jalur laut dibuka secara online tanggal 25 Maret 2024. Program mudik gratis yang diselenggarakan Pemprov Jatim melalui Dinas Perhubungan itu bisa diikuti dengan syarat menunjukkan KTP atau Kartu Keluarga.

Bantuan Korbrimob Polri untuk Korban Bencana Jateng

Sebanyak 5.000 paket sembako dikirim langsung dari Mako Brimob Kelapadua, Cimanggis, Kota Depok untuk korban bencana banjir di beberapa Kabupaten Jateng akibat hujan deras dengan intensitas tinggi.

HUT ke-105 Damkar dan Penyelamatan Nasional 2024 Akan Digelar di Surabaya

HUT ke-105 Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Nasional tahun 2024 akan berlangsung di Kota Surabaya, dimulai pada 27 Februari 2024 hingga puncak peringatan 1 Maret

Pasca Gempa Tuban, Pasien RS Unair Dirawat di Tenda Darurat

Pendaftaran Mudik Gratis Melalui Jalur laut dibuka secara online tanggal 25 Maret 2024. Program mudik gratis yang diselenggarakan Pemprov Jatim melalui Dinas Perhubungan itu bisa diikuti dengan syarat menunjukkan KTP atau Kartu Keluarga.

Senin, 15 Juni 2020

Menengok Perjuangan Pengantar Jenazah Sekaligus Petugas Pemakaman Covid-19



KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Selain tenaga medis, ada satu pahlawan lagi yang turut berjasa dalam melawan pandemi Covid-19.

Yah, mereka adalah driver mobil ambulance sekaligus petugas pemakaman jenazah Covid-19. Tak banyak orang memang yang mau menekuni profesi ini.

Apalagi, tugas mereka juga berhubungan langsung dengan pasien ataupun jenazah Covid-19.

Mulai dari perasaan was-was, hingga harus bersitegang dengan pihak keluarga, kerap kali menghampiri mereka.

Namun, karena atas dasar niatan tulus, hal itu justru menjadi motivasi bagi mereka untuk menjalankan tugas kemanusiaan membantu sesama.

Sejak pandemi Covid-19 melanda Kota Pahlawan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menyiapkan lahan khusus untuk lokasi pemakaman jenazah Covid-19.

Di lokasi itu, pemakaman jenazah berjalan sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan. Selain itu, petugas juga diwajibkan menggunakan alat pelindung diri (APD), mulai pengantaran hingga proses pemakaman selesai.

Nah, para petugas ini merupakan gabungan dari beberapa OPD (Organisasi Perangkat Daerah) Pemkot Surabaya.

Terdiri dari, jajaran Dinas Sosial (Dinsos), Petugas Pemakaman DKRTH (Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau) hingga Tenaga Kesehatan (Nakes) di Dinas Kesehatan (Dinkes).

Salah satu petugas yang biasa terlibat dalam prosesi pemakaman jenazah pasien Covid-19 adalah Zuliyanto (50).

Ia merupakan pendamping driver ambulance Dinsos Surabaya yang biasa membantu dalam prosesi pemakaman jenazah Covid-19.

Sekitar bulan Maret 2020, menjadi awal pengalaman awal bagi dia mengantarkan dan memakamkan jenazah Covid-19.

“Waktu itu kebetulan pas shifnya teman-teman saya. Nah, pasca pertama kali mereka turun, salah satu tim ada yang drop karena ketakutan dengan berita-berita yang begitu santer terkait Covid-19. Akhirnya itu membuat saya harus turun untuk meyakinkan kawan-kawan bahwa pasien Covid-19 yang meninggal tidak seberbahaya seperti yang diberitakan di media,” kata Zuliyanto saat dihubungi, Senin (15/06/2020).

Awalnya, Zuliyanto mengaku juga memiliki rasa takut dan was-was ketika harus terjun memakamkan jenazah Covid-19. Bahkan, tak hanya dia, kawan-kawannya pun juga memiliki rasa takut akan terpapar virus itu.

Namun, ada perasaan tersendiri yang membuat Zuliyanto yakin, bahwa ini aman. Selain itu, karena niatan tulus yang membuat ia memberanikan diri untuk menjadi salah satu petugas khusus pemakaman.

“Nanti kalau semuanya tidak ada yang berani terus siapa yang memakamkan. Akhirnya saya beranikan diri untuk turun dengan niatan nawaitu untuk kemanusiaan,” kata Zuliyanto.

Menurut dia, jenazah Covid-19 justru lebih aman dari pada pasien. Karena sebelum dimakamkan, jenazah itu sudah dimasukkan ke dalam peti dan dilapisi plastik sesuai protokol kesehatan yang ditetapkan.

“Awalnya hanya beberapa petugas yang turun, kemudian ada 22 teman ikut berani turun. Pasca 1 bulan itu kemudian akhirnya semuanya diwajibkan untuk ikut terjun,” katanya.

Pria yang telah bekerja di Dinsos Surabaya sejak 6 tahun yang lalu ini juga kerap kali harus membantu pemakaman jenazah Covid-19 saat tengah malam hingga dini hari.

Bahkan, ketika pulang dan sampai di rumah, ia harus kembali berdinas untuk membantu rekan-rekannya.

“Seringkali sudah sampai rumah itu saya harus kembali membantu. Tidak hanya malam hari, dini hari sampai pagi pokoknya 24 jam. Bahkan, di luar jam dinas saya harus turun,” ungkap dia.

Sejak Covid-19 ada di Surabaya, mobil ambulance Dinsos tak hanya digunakan untuk mengantar orang sakit biasa.

Namun, kendaraan ini juga digunakan untuk mengantar pasien ataupun jenazah Covid-19 ke tempat pemakaman.

Nah, sejak saat itulah Zuliyanto bertugas mengantar jenazah pasien Covid-19 dari rumah sakit menuju pemakaman.

Atau pasien meninggal di rumah kemudian diantar ke rumah sakit untuk dilakukan pemulasaran dan selanjutnya menuju pemakaman.

“Saya tak hanya bertugas mengantar jenazah hingga ke pemakaman. Tapi kita juga membantu teman-teman dari DKRTH, bantu mereka bawa dan angkat peti sampai ke liang lahat,” cerita dia.

Meski demikian, Zuliyanto mengaku kerap kali harus bersitegang dengan pihak keluarga.

Alasannya, keluarga pasien ingin memakamkan sendiri kerabatnya itu, meski tenaga kesehatan telah menyatakan jenazah itu confirm Covid-19.

Padahal, pemerintah telah menetapkan jenazah Covid-19 harus dimakamkan sesuai protokol kesehatan.

“Sering bersitegang sama pihak keluarga karena mereka tidak mengerti tupoksi kita dimana. Padahal tujuan kita hanya ingin membantu meringankan mereka. Hampir juga sempat berantem, untungnya saya masih sadar, saya berikan pengertian kepada pihak keluarga kalau proses pemakaman sesuai protokol ini tidak diterapkan, maka bisa jadi pandemi lagi,” ungkap dia.

Selain Zuliyanto, Sugeng Priharianto (37) juga menjadi salah satu petugas yang biasa mengantar dan memakamkan jenazah Covid-19.

Meski terkadang ada perasaan was-was, namun semua itu dia serahkan kepada Tuhan karena niatan bekerja dan ibadah.

“Ada juga perasaan was-was dan takut, tapi saya serahkan semuanya kepada Allah. Karena ini juga kerja buat anak keluarga. Perasaan saya cuma mau menolong saja,” kata Sugeng.

Sebab, Sugeng yakin, orang yang sudah meninggal jenazahnya itu justru lebih aman. Apalagi sebelum dimakamkan jenazah itu sudah dimasukkan ke dalam peti dan dibungkus plastik sesuai protokol kesehatan yang telah ditetapkan.

“Kalau sudah dimasukkan ke dalam peti dan dibungkus plastik, Insya Allah sudah aman. Tapi kita tetap pakai APD komplet, sepatu boot, face shield dan masker,” katanya.

Pria yang tinggal di Banjar Sugihan Surabaya ini mengaku, hanya ingin berniat menolong memakamkan jenazah Covid-19 sesuai protokol yang ditetapkan.

Karena itu, ia juga merasa prihatin dengan kejadian-kejadian jenazah Covid-19 yang sampai diambil paksa karena kurangnya kesadaran pihak keluarga.

“Waktu itu ada juga kejadian ojek online, mereka datang ramai-ramai ke pemakaman, seperti mereka menantang tak takut terpapar. Kebetulan itu teman-teman saya yang bertugas, itu kami sempat manggkel sekali. Padahal niat kita kan hanya membantu keluarga mereka,” ujar Sugeng.

Namun demikian, perasaan itu semua sirna ketika Sugeng sudah bertemu dengan anak dan keluarganya di rumah.

Keluarga menjadi obat penghilang rasa capek dan was-was bagi dia bersama rekan-rekannya setelah memakamkan jenazah Covid-19. 

Meski begitu, ia berharap, ke depan tak ada lagi warga yang meninggal karena terpapar Covid-19 dan pandemi ini bisa segera berakhir. “Kami hanya berharap masyarakat disiplin mematuhi protokol kesehatan yang dianjurkan pemerintah,” pungkasnya. (Ar)

Sabtu, 23 Mei 2020

Kerja Keras Para Camat Turunkan Angka Covid-19



KABARPROGRESIF.COM: (Surabaya) Sejak pandemi COVID-19 masuk ke Kota Pahlawan, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya bersama jajaran samping langsung mengambil langkah cepat untuk mencegah dan memutus mata rantai penyebaran virus tersebut.

Bahkan, jajaran di tingkat kecamatan dan kelurahan juga bersinergi dengan kepolisian dan TNI bergerak bersama menyelesaikan pandemi COVID-19.

Data Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya pada Kamis, (21/5/2020) menyebutkan, terdapat 10 kecamatan di Surabaya yang mengalami kasus tertinggi Covid-19.

Yakni Kecamatan Rungkut 180, Krembangan 172, Tambaksari 101, Sawahan 87, Wonokromo 85, Gubeng 76, Bubutan 73, Mulyorejo 58, Tegalsari 55 dan Sukolilo 54. Sedangkan di tingkat kelurahan, 10 kasus tertinggi COVID-19 berada di Kelurahan Kemayoran 113, Kalirungkut 75, Kedung Baruk 61, Jepara 40, Ngagel Rejo 39, Banyu Urip 37, Mojo 31, Morokrembangan 27, Mulyorejo 26 dan Ketintang 24.

Wilayah Rungkut dan Krembangan ditetapkan sebagai dua kecamatan tertinggi kasus penyebaran Covid-19 di Surabaya. Meski Forum Pimpinan Kecamatan (Forpimcam) bersama jajaran kelurahan setempat terus bekerja maksimal, namun upaya yang dilakukan ini juga tak lepas dari berbagai kendala ketika di lapangan.

Camat Rungkut Surabaya, Yanu Mardianto bercerita bagaimana upaya dan kendala yang selama ini dialaminya dalam memutus mata rantai virus itu.

Ketika terjadi pandemi dan bertepatan dengan awal pelaksanaan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) di Surabaya, pihaknya masif melakukan sosialisasi kepada masyarakat. Baik itu di wilayah perkampungan, perumahan, pasar maupun pertokoan.

“Kita lakukan sosialisasi kepada pemilik warung dan pengusaha terkait aturan apa saja yang boleh dan tidak saat PSBB. Khususnya protokol kesehatan yang harus disiapkan, oleh tempat usaha yang boleh buka ketika PSBB,” kata Yanu Mardianto, Sabtu (23/05/2020).

Namun begitu, dalam prosesnya itu, Yanu Mardianto mengaku menemui berbagai kendala di lapangan. Kendala yang ditemui pun bervariatif.

Ada ketika orang diajak berkomunikasi itu memahami, namun ada pula yang masih merasa acuh.

Meski begitu, pihaknya tak menyerah untuk tetap menyampaikan kewajiban kepada masyarakat.

“Kewajiban kita tetap menyampaikan sosialisasi kepada masyarakat agar mereka paham terhadap aturan-aturan PSBB. Ketika ada yang melakukan pelanggaran juga kita tindak,” tegasnya.

Selain masif melakukan sosialisasi langsung bersama jajaran samping, pihaknya bersama puskesmas juga aktif melakukan tracing di lapangan.

Ketika diketahui ada warga yang confirm COVID-19 dan masih berada di rumah, maka ia berkolaborasi dengan RT/RW dan PSM (Pekerja Sosial Masyarakat) untuk menghubungi warga itu agar mau dilakukan penjemputan dan diarahkan ke rumah sakit.

“Sedangkan keluarga yang ditinggalkan, maka dia menjadi tanggungan kita untuk mendapatkan permakanan, karena dia harus isolasi mandiri. Sebab, begitu ada satu keluarga yang confirm, maka dalam satu keluarga itu masuk ODP (orang dalam pemantauan),” terangnya.

Di samping menemui kendala saat memberikan edukasi kepada masyarakat terkait penerapan PSBB, Yanu Mardianto juga mengaku memiliki banyak kisah menarik ketika menangani pasien COVID-19.

Seperti data pasien COVID-19 tidak match di lapangan hingga pasien itu sudah pindah namun masih terdata tinggal di alamat yang lama.

“Makanya kita pakai adalah tracing dari pemilik kos yang lama. Kalau tidak dicari maka potensi penularan semain besar. Karena itu kita terus cari yang bersangkutan, jika sampai tidak ketemu maka kemudian kita sampaikan bahwa orang itu sudah tidak tinggal di alamat tersebut,” katanya.

Yanu Mardianto juga menyatakan, bahwa upaya yang dilakukan ini, membutuhkan peran serta tiga pilar, baik di kecamatan maupun kelurahan.

Apalagi ketika menghadapi orang yang susah pemahamannya, maka peran tiga pilar ini yang akan bekerja untuk meyakinkan orang tersebut.

“Nah, pengertian-pengertian itu juga yang kita perkuat di jajaran RT/RW dan PSM untuk melakukan itu,” terangnya.

Menurutnya, agak dilematik juga ketika menghadapi orang-orang seperti itu. Sebab, di satu sisi, dimungkinkan juga bagi orang tanpa gejala (OTG) melakukan isolasi mandiri di rumah dengan memenuhi syarat tempat tinggal.

Tapi, bagi mereka yang mengajukan isolasi mandiri namun tempatnya tidak memungkinkan, maka ia akan mengambil langkah persuasif agar orang itu mau dirawat di hotel, rumah sakit atau lokasi isolasi lain yang telah ditentukan.

“Jadi kita bersama RT/ RW dan PSM yang memberikan edukasi kepada orang tersebut agar mau dirawat di rumah sakit,” kata dia.

Upaya memutus mata penyebaran COVID-19 rupanya juga mendapat dukungan masyarakat.

Karena itu, warga di wilayah Kecamatn Rungkut memberlakukan one gate system dan menerapkan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran virus itu.

Mereka berjaga secara bergiliran dan swadaya di setiap pintu-pintu masuk kampung. Jika ada warga yang datang dan bukan berasal dari wilayah itu, maka orang tersebut akan ditanya terlebih dahulu keperluannya apa.

“Jadi siapapun yang masuk harus disemprot, di-thermo gun, ditanya apa keperluannya. Kalau misalnya keperluannya hanya melintas, itu kita minta dia untuk memutar tidak lewat jalur itu, untuk mencegah penyebaran COVID-19,” tuturnya.

Berbagai kendala itu, rupanya tak hanya dialami jajaran di wilayah Kecamatan Rungkut Surabaya.

Camat Krembangan, Agus Tjahyono juga mengaku mengalami hal serupa. Salah satunya saat pihaknya bersama Dinas Kesehatan (Dinkes) akan menggelar rapid test massal.

Saat pelaksanaan rapid test, rupanya banyak warga yang tiba-tiba menghilang dari rumahnya.

“Jadi pada saat rapid test ini banyak yang hari H itu mereka menghilang dari kampungnya. Ibaratnya sekitar 50 orang di rapid test pada saat itu, yang datang itu hanya sekitar 30 orang. Jadi 20 di antaranya itu ternyata saat kami cari di rumahnya itu tidak ada,” kata Agus.

Informasinya, kata Agus, sepertinya mereka takut di-rapid test. Karena itu, kemudian ia mengambil strategi lain agar warga yang dinilai rentan COVID-19 ini bisa dilakukan pemeriksaan rapid test.

Nah, untuk itu ia mengambil langkah door to door dalam pelaksanaan rapid test tersebut. 

“Jadi pada saat kami melakukan rapid test, kami langsung melakukan test door to door dengan tidak memberitahukan sebelumnya,” katanya.

Tak hanya menemui kendala saat pelaksanaan rapid test massal. Agus mengakui, saat proses mobilisasi warga ke rumah sakit untuk dilakukan isolasi pun juga demikian.

Meski tak banyak, namun ada saja warga yang menolak saat dirawat dan diisolasi ke rumah sakit. Alasan mereka pun bervariatif, seperti ingin isolasi mandiri di rumah karena ada anak dan istri sendirian di rumah.

“Jadi ada yang mereka ingin isolasi mandiri saja. Kemudian ada alasan keluarga dan anak sendirian di rumah. Tapi akhirnya kami memobilisasi warga yang bersedia. Kemudian besoknya baru kita treatmen orang-orang yang menolak itu akhirnya mereka mau,” ungkapnya.

Bahkan, untuk meyakinkan warga agar mau isolasi di rumah sakit, Camat Krembangan juga melibatkan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat. Upaya ini dilakukan sebagai langkah persuasif untuk meyakinkan warga tersebut.

“Otomatis kita membutuhkan bantuan tokoh masyarakat dan warga setempat. Supaya mereka juga memberikan bantuan bahwa apa yang dilakukan ini untuk kebaikan. Kalau misalkan dia (confirm COVID-19) masih di situ (rumah), otomatis dia pasti keluar beli kebutuhan apa dan dimungkinan akan menularkan ke yang lain,” pungkasnya. (Ar)