KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Ribuan warga Tanjung Sari Surabaya menggelar syukuran atas kemenangan gugatan perdata nya melawan tiga perusahaan pengembang yang telah mencaplok tanah ahli waris mereka selama 43 tahun.
Doa syukur bertema 'Sejarah Baru Terwujudnya Keadilan Bagi Wong Cilik' tersebut digelar dihalaman Balai RW II Kelurahan Tanjung Sari, Kecamatan Sukomanunggal, Kamis (28/7) malam.
Ribuan warga dan sejumlah pejabat dilingkungan Pemkot Surabaya juga hadir pada acara tersebut. Tak hanya itu, utusan Kementrian Dalam Negeri, Perwakilan Pangarmatim dan Jajaran Muspika Surabaya juga terlihat hadir.
Selain itu, Tokoh masyarakat Surabaya Mat Mochtar juga ikut hadir. Bahkan pria bertubuh tambun itu mendapat kehormatan untuk memberi sambutan.
Dalam sambutannya, Mat Mochtar mengapresiasi putusan Hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, yang dianggap masih memberikan keadilan bagi wong cilik. "Hidup Hakim, Hidup Warga Tanjungsari, merdeka, merdeka,"sorak Mat Mochtar dalam sambutannya.
Sementara, Eggi Sudjana selaku kuasa hukum warga Tanjungsari meminta agar dalam kemenangannya itu, warga tidak menjadi congkak dan sombong.
Eggi juga berharap untuk bisa memafkan para pihak yang telah menyakiti ribuan kliennya selama 43 tahun. "Kemenangan itu atas rahmat Allah, janganlah kemenangan ini malah menjadikan kita semua menjadi sombong, Ayo kita maafkan mereka yang telah menyakiti kalian,"seru Eggi saat memberikan sambutannya.
Eggi pun berharap agar pihak perusahaan pengembang tidak melakukan upaya hukum banding atas putusan PN Surabaya. "Selasa depan adalah batas mereka mengajukan banding, semoga mereka tidak mengajukan banding. Tapi bila mereka masih mokong, kita tetap meladeninya. Dan putusan hakim tidak menghalangi proses eksekusi meski mereka melakukan upaya hukum,"Kata Eggi pada ribuan warga Tanjungsari.
Dibalik kemenangan gugatannya itu, ternyata tak lepas dari kerja keras dan kesolitan tim kuasa hukum lainnya. "Dibalik proses kemenangan kita, juga ada kerja keras dua rekan saya, yakni Kholik dan Mas'ud, yang telah mati-matian meluangkan waktunya siang dan malam untuk kalian semua,"ujar Eggi.
Diakhir sambutannya, Eggi langsung menututup acara ini dengan doa yang langsung dipimpinnya.
Seperti diketahui, Hakim PN Surabaya memenangkan gugatan yang diajukan 98 Kepala Keluarga Warga Tanjungsari Surabaya melawan tiga perusahan pengembang rumah mewah, yakni PT Darmo Satelit Town (DST), PT Damo Grand (DG) dan PT Darmo Permai (DP).
Dalam amar putusan yang dibacakan diruang candra Pengadilan Negeri (PN) Surabaya, Selasa (19/7), majelis hakim pimpinan Efran Basuning juga mewajibkan tiga perusahaan pengembang tersebut membayar ganti rugi ke warga sebesar Rp 16.800.000.000 (Enam Belas Miliar Delapan Ratus Juta Rupiah)
Denda kerugian itu dihitung pertahunnya Rp 350 juta, dikali 48 tahun, sesuai dengan masa waktu pihak tergugat menguasai lahan yang disengketakan.
Tak hanya membayar kerugian ke warga tanjungsari, Hakim juga mewajibkan para tergugat untuk membayar uang paksa atau dwangzoom Rp 1 juta perhari, dihitung setiap tergugat terlambat mengembalikan objek sengketa.
Putusan tersebut tak menghalangi proses eksekusi, meski para tergugat melakukan upaya hukum.
Gugatan tersebut dilayangkan 98 Kepala Keluarga Warga Tanjungsari Surabaya. Mereka menganggap para pengusaha pengembang rumah mewah itu telah mencaplok tanahnya selama 43 tahun.
Dijelaskan dalam gugatan, Pada tahun 1973, tiga perusahaan selaku tergugat tersebut, bermula bernama CV Pembangunan Darmo. Dan pada tahun 1973 mereka membebaskan lahan sengekta ini melalui Panitia Pembebasan Tanah Untuk Negara (P2TUN) yang dibentuk Pemkot Surabaya, Kala itu bernama Pemerintah Kotamadya Dati II Surabaya.
Pembebasan itu sebenarnya digunakan untuk kepentingan rakyat, seperti Sekolah, Perumahan Rakyat, Pelabuhan, Rumah Sakit. Tapi nyatanya ijin prinsip yang dimiliki tergugat (sebelumnya bernama CV Pembangunan Darmo,red) telah disalah gunakan untuk perumahan mewah.
Seiring waktu dengan ganti nama dari Kepala Pemerintahan, dari Kodya Dati II Surabaya menjadi Pemkot Surabaya, Pada Tahun 2003, Walikota Surabaya yang saat itu dijabat Bambang Dwi Hartono (DH) meminta supaya Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya membatalkan dua sertifikat yang diterbitkannya untuk pihak tergugat.
Permintaan pembatalan penerbitan sertifikat nomor 2083 dan 2084 pada tahun 2002 tersebut, didasari atas hasil rekapitulasi pembebasan yang dilakukan P2TUN tahun 1973.
Surat Keputusan Walikota itu digugat pihak tergugat ke PTUN Surabaya, tapi gugatannya kalah hingga ke tingkat kasasi Mahkamah Agung (RI).
Kendati demikian, pihak BPN Surabaya tetap mengabaikan SK Walikota Surabaya era Bambang DH dengan tidak melakukan pembatalan.
Perjuangan warga Tanjungsari bukanlah yang pertama kali dilakukannya. Dua kali gugatan class action mereka ditolak hakim PN Surabaya, Namun dalam gugatan perdata jilid III, gugatan mereka akhirnya dikabulkan PN Surabaya. (Komang)