Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Jumat, 06 Desember 2013

Fathorrasjid: Ada kepentingan politis dalam kasus P2SEM

KABARPROGRESIF.COM : Mantan Ketua DPRD Jatim periode 2004-2009, Fathorrasjid beberkan adanya kepentingan politis dalam kasus dugaan korupsi dana Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang membuatnya mendekam 4 tahun di penjara.

Hal itu diungkapkan Fathorrasjid, saat menjadi saksi atas kasus dugaan korupsi P2SEM Situbondo. Fathorrasid dihadirkan jaksa penuntut umum (JPU) sebagai saksi atas dua terdakwa, Edy Mustafa dan Asy’ari Rusydi. Keduanya diseret pengadilan setelah diduga memotong dana yang berasal dari APBD Jatim tahun anggaran 2008 untuk 122 lembaga penerima P2SEM di Situbondo.

Dalam sidang Kamis (05/12/2013) di Pengadilan Tipikor Surabaya, Fathorrasjid mengaku pernah mengenal kedua terdakwa saat pengajuan proposal dana bantuan P2SEM tahun 2008 dari APBD melalui DPRD Jatim. Selaku pimpinan dewan saat itu, maka Fathor menyetujui beberapa proposal sebagaimana yang diajukan untuk 122 lembaga di Situbondo.“Pertemuan selanjutnya saat keduanya memberikan keterangan bohong di Polda Jatim atas kasus saya,” ujar mantan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu di hadapan majelis hakim ketua Sri Herawati.

Menurut Fathorrasjid, pada tahun 2008, Ia setidaknya menandatangani tiga proposal yang pengajuannya di
koordinatori oleh terdakwa Edy Mustofa yang kala itu sebagai koordinator wilayah Bungatan, Situbondo. Dana yang disetujui yakni permohonan Pesantren Nurul Yaqin, Pembangunan Madrasah Diniyah Radlatul Athfal dan PAUD Nuriyah Qomariyah. Dana P2SEM yang disetujui sebesar Rp 400 juta.“Saya laporkan karena mereka beri kesaksian bohong jika pemotongan diserahkan kepada saya selaku penyetuju proposal,” jelasnya.

Kala itu, Fathor mengetahui jika dana P2SEM yang diajukan Nurul Yaqin sebesar Rp 150 juta. Namun terdakwa Edy melakukan pemotongan mencapai 35 persen atau sebesar Rp 41,3 juta. Nah, dana itu disebut-sebut terdakwa untuk disetorkan kepada pimpinan pusat yang tak lain Ketua DPRD Jatim melalui seseorang bernama Hj Imron.“Saya tidak pernah membuat kebijakan seperti itu. Dana itu, seperti yang saya ketahui merupakan kesepakatan antara Hj Imron dengan terdakwa di rumahnya,” tegas Fathorrasjid.

Sama halnya dengan dua permohonan lain yakni Pembangunan Madrasah Diniyah Radlatul Athfal dan PAUD Nuriyah Qomariyah. Sesuai proposal, dua terdakwa juga melakukan pemotongan dana hingga mencapai 70 persen dari pengajuan masing-masing Rp 125 juta. Terdakwa lantas diketahui juga membagi hasil pemotongan kepada Hj Imron yang tak lain pengasuh Madrasah Diniyah.“Dari empat nama yang pernah saya ketahui, dua nama diantaranya adalah para terdakwa selaku penerima dana pemotongan bantuan P2SEM,” imbuhnya.

Ditemui usai sidang Fathorrasjid mengaku sengaja menjebloskan dua terdakwa karena memberikan keterangan palsu atas kasus P2SEM yang juga menjerat dirinya. Ia menduga, kedua terdakwa ditunggangi oleh kepentingan politis pesaingnya di DPRD Jatim yang sengaja menjagal langkahnya yang saat itu mencalonkan diri sebagai pimpinan salah satu kabupaten di Jatim.“Dulu mereka ini bersaksi dan berikan keterangan palsu. Kelihatan sekali kepentingan politisnya,” tegasnya.

Bahkan dalam keterangan dua terdakwa pada saat itu, Fathor disebut-sebut menerima aliran pemotongan hingga mencapai Rp 1,9 miliar. Sayang, pengakuan terdakwa justru dibantah dan dijadikan novum atau temuan baru yang diajukan Fathor untuk tidak menjalani pidana subsider atas kasusnya.“Novum saya diterima hakim dan tanggal 26 Desember saya bebas. Ini bukti persaingan politis yang ingin jatuhkan
saya,” tandasnya.

Edy Mustafa dan Asy’ari Rusydi diseret ke pengadilan setelah penyidik Kejari Situbondo menetapkan keduanya melakukan tindakan korupsi secara bersama-sama untuk menguntungkan diri sendiri atas laporan mantan Ketua DPRD Jatim, Fathorrasid. Saat itu, dua terdakwa diketahui melakukan pemotongan dana bantuan P2SEM untuk 122 lembaga di Sidtubondo hingga mencapai 70 persen per pencairan.

Akibatnya negara diduga mengalami kerugian mencapai Rp 1,9 miliar. Terdakwa pun diancam pidana 20 tahun penjara dengan sangkaan pada pasal pasal 2 dan 3 ayat (1) jo pasal 18 UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001 perubahan UU No. 31/1999 tentang pemberantasan tipikor. (Komang)

0 komentar:

Posting Komentar