Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Selasa, 05 Desember 2023

Sidang Perkara Koneksitas Tipikor Pembangunan Rumah Prajurit, Jaksa Hadirkan 3 Saksi


KABARPROGRESIF COM: (Surabaya) Pengadilan Tipikor Surabaya kembali menyidangkan perkara koneksitas Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 Tahun 2018.

Sidang kali ini masih beragendakan mendengarkan keterangan dari dua saksi dan satu saksi ahli yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU).

Ketiga saksi tersebut yakni, Hendy, Ester dan saksi ahli dari Fakultas Hukum Unair, Bambang Suheryadi.

Sebelum sidang dimulai, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Jatim meminta kepada Majelis Hakim agar keterangan saksi dengan saksi ahli terpisah.

Hal itu pun mendapat persetujuan dari Majelis Hakim serta penasehat hukum kedua terdakwa.

Tak ayal saksi ahli Bambang Suheryadi terpaksa harus keluar dari ruang sudang Cakra Pengadilan Tipikor Surabaya.

Hendy yang merupakan saksi pertama menjawab berbagai pertanyaan dari JPU, serta kedua pengacara dari dua terdakwa dan majelis hakim.

Dalam keterangannya saat bersaksi, Hendy blak-blakan membongkar kasus tersebut.

Hendy yang merupakan seorang pengusaha rumah makan dan hotel ini merasa dibohongi oleh terdakwa Ikhwan.

Ia tak tahu bila Ikhwan yang awalnya mengaku memiliki perusaaan bernama PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung ternyata fiktif.

"Saya tahunya ketika diperiksa oleh kejaksaan, bila perusahaan itu fiktif," kata Hendy menjawab pertanyaan majelis hakim, Selasa (5/12)..

Tak hanya itu, Hendy juga menceritakan kronologis peristiwa pemberiaan dana komando ketika dicecar oleh JPU dan oditur militer (odmil).

Awalnya kata Hendy, terdakwa Ikhwan meminta tolong membantu proyek kerjasama pembangunan Rumah Prajurit Setara Tower Lantai 6 dengan TNI AD.

Nah karena tak mengerti dengan bidang tersebut, Hendy meminta saudaranya untuk membantu Ikhwan.

"Ikhwan minta tolong bantu kerjasama dengan TNI AD. Lalu ada komunikasi dengan Agus Hendardi. Ada anak perusahaan kerjasama proyek. Lalu ada komunikasi dengan Dwi Purnomo dilanjut ketemuan dengan Ikhwan di Jakarta. Mereka bertiga. Dilanjut berikutnya di hotel dengan terdakwa Dindin Kamaludin. Tapi Dindin tidak hadir ada yang mewakili rekannya. Disana mereka bertukar nomer Hp," jelasnya.

Sayangnya pada agenda pertemuan berikutnya, Hendy mengaku tak diberitahu kelanjutannya.

Ia hanya diundang setelah penyerahan uang komando sebesar Rp 500 juta.

"Pertemuan di Bank Mandiri. Disitulah ada uang diserahkan. Saya tidak tahu. Karena mereka sudah berkomunikasi," pungkasnya.

Seperti diketahui dalam dakwaan Primair, JPU menyebut terdakwa Dindin Kamaludin bersama-sama dengan terdakwa Ikhwan Nursyujoko dan saksi Dwi Fendi Pamungkas serta saksi Agung Budhi Satriyo mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. PT. Sier Puspa Utama (PT. SPU), seluruhnya sebesar Rp. 1.330.000.000.

"Perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin dan terdakwa Ikhwan Nursyujoko sebagaimana diatur dan diancam pidana di dalam Pasal 2 ayat (1) Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH. Pidana.

Sedangkan pada dakwaan Subsidair, perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin bersama-sama dengan terdakwa Ikhwan Nursyujoko dan saksi Dwi Efendi Pamungkas serta saksi Agung Budhi Satriyo mengakibatkan kerugian keuangan Negara cq. PT. Sier Puspa Utama (PT. SPU), seluruhnya sebesar Rp. 1.330.000.000.

"Perbuatan terdakwa Dindin Kamaludin dan terdakwa Ikhwan Nursyujoko sebagaimana diatur dan diancam pidana di dalam Pasal 3 Jo. Pasal 18 ayat (1), (2), (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana," pungkas Joni Samsuri.

Seperti diberitakan, kasus ini bermula dari dugaan penyimpangan penggunaan dana yang dikeluarkan oleh PT. SPU, anak perusahaan BUMN PT Surabaya Industrial Estate Rungkut (PT SIER).

Dana tersebut akan digunakan untuk paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 tahun 2018 di Cipinang.

Terdakwa Ikhwan selaku pihak dari PT Neocelindo Inti Beton Cabang Bandung pihak penerima paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018.

Lalu, paket pekerjaan tersebut diserahkan kepada PT SPU untuk dikerjakan.

Mekanismenya, sebagai biaya pekerjaan awal atau relokasi, Ikhwan meminta uang kepada PT SPU.

Totalnya mencapai Rp1,25 miliar.

Nah, setelah uang diberikan ternyata paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018 tidak ada alias fiktif.

Sedangkan, untuk peran tersangka dari Militer, yakni Letkol CZI DK, diduga menerima sebagian uang pembayaran dari Rp1,25 miliar tersebut.

Tak hanya itu, Letkol CZI DK juga berperan mengatasnamakan TNI yang akan mengadakan paket pekerjaan pembangunan rumah prajurit setara tower lantai 6 Tahun 2018, kendati paket pekerjaan tersebut tidak ada.

Pihak PT SPU sendiri sebelumnya sudah dilakukan proses persidangan dan sekarang dalam tahap upaya hukum banding atas nama Dwi Fendi Pamungkas yang saat kejadian sebagai Direktur Utama PT SPU dan Agung Budhi Satriyo yang pada saat kejadian selaku Kepala Biro Teknik PT SPU.

Atas perkara ini, Letkol CZI DK dikenakan sanksi berdasarkan ketentuan Pasal 198 ayat (1) UU Nomor 31 Tahun 1997 Tentang Peradilan Militer yang pada pokoknya menjelaskan tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel peradilan militer dan yustisiabel peradilan umum, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.

Dalam perkara tindak pidana korupsi proyek perumahan prajurit ini, sebelumnya ada dua orang terdakwa yang telah memperoleh putusan hukum dari majelis hakim pada pengadilan tingkat pertama.

Mereka adalah Dwi Efendi Pamungkas yang saat kejadian tahun 2018 menjabat Direktur Utama PT SIER Puspa Utama dan Agung Budhi Satriyo selaku Kepala Biro Teknik pada anak perusahaan PT SIER tersebut.

Keduanya sama-sama divonis pidana satu tahun enam bulan penjara di Pengadilan Tipikor Surabaya.

0 komentar:

Posting Komentar