Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Selasa, 24 Februari 2015

Prof Dr Philipus Hadjon Ringankan Posisi Euis Darliana dan Salahkan Penyidik Kejaksaan


KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) Sidang lanjutan perkara korupsi pembebasan lahan Middle East Ring Road (MERR) II C dengan terdakwa Euis Darliana kembali di sidangkan di Pengadilan Tipikor Surabaya di Juanda Sidorajo, Senin (23/2/2015).

Dalam persidangan ini, menghadirkan Prof Dr Philipus M Hadjon, SH,MH sebagai saksi ahli. Dihadapan majelis hakim yang diketuai Maratua Rambe, Saksi Ahli ini menerangkan  jika Euis Darliana, belum tentu bisa dijerat dengan pasal tindak pidana korupsi selama dirinya tidak terbukti menikmati uang negara. Bahkan, Pasal 3 undang-undang tindak pidana korupsi yang disangkakan jaksa, bisa jadi menunjukkan lemahnya penyidikan dalam kasus yang diduga merugikan negara belasan miliar tersebut, jika memang tidak ada aliran uang yang masuk ke kantong Euis.

Dia menilai jika penerapan pasal 3 undang-undang tipikor dalam kasus Euis Darliana cukup lemah dan mestinya tidak dapat menyeret Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) sekaligus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) kasus ini sebagai terdakwa.

Menurut Philipus, Euis adalah pejabat pemerintahan yang melakukan kesalahan karena menandatangani nota ganti rugi warga terdampak pembebasan lahan MERR II C. Dengan begitu, Euis hanya melakukan kesalahan pada legalitas, dan pantas dijatuhi sanksi administrasi.

Pernyataan Philipus diperkuat dengan keterangan jika Euis dijadikan pesakitan pengadilan karena dirinya menandatangi nota ganti rugi guna pencairan dana warga. Apalagi, jaksa menjeratnya dengan Pasal 3 yang intinya berkaitan dengan penyalahgunaan hak dan wewenang.

"Wewenang yang dimaksud adalah jika ada manipulasi dan penyimpangan yang juga turut dilakukan terdakwa," ujar Philipus.

Sementara, masih kata Philipus, Euis ditetapkan sebagai tersangka karena lalai atas kinerja bawahannya, Olli Faizol dan Djoko Walujo yang masing-masing merupakan Satgas dan koordinator pembebasan lahan. Dua PNS Pemkot Surabaya inilah yang berperan melakukan mark up uang ganti rugi. Artinya, kata Philipus, Euis sebatas lalai dalam menggunakan haknya sebagai KPA dan PPK, karena lalai mengawasi kinerja bawahannya.

Menanggapi itu, majelis ketua Maratua Rambe, mempertanyakan kewenangan Euis yang tidak menganut azaz kehati-hatian dalam menjalankan tupoksinya selama menjabat sebagai KPA dan PPK. Apalagi, terdakwa mengantongi nota dinas dari Kepala Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga dan Pematusan (PUBMP) Surabaya. Bahkan, akibat dari kelalaiannya lah, negara menjadi rugi karena ulah Djoko dan Olli yang memanipulasi besaran dana ganti rugi bagi warga.

"Jika dakwaannya sebatas wewenang, maka harus dibuktikan wewenang mana yang disalahkan. Menandatangani bukan berarti setuju pada manipulasi atau penyimpangan. Kalau begini, penyidikannya tidak lengkap," jelas ahli.

Menurut penilaian Philipus, Euis tidak mengetahui jika Djoko dan Olli melakukan manipulasi besaran biaya ganti rugi warga MERR. Euis, sebagaimana dalam dakwaan, mengaku menandatangani nota ganti rugi, namun tidak mengetahui adanya namipulasi biaya lahan.

"Kalau pejabat tidak cermat, maka sanksinya indisipliner. Bukan karena tidak cermat lalu didakwa korupsi. Pasal 3 harus dibuktikan, jika tidak akan membingungkan," tegas ahli.

Sementara itu, kesaksian Philipus di muka sidang sebagai pakar hukum administrasi, mengalami penolakan dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Alasannya, keterangan hukum administrasi tidak sesuai dengan kasus pidana khusus yang disidangkan. "Kami hanya menerima saksi ahli di bidang pidana, bukan administrasi," ujar JPU Hanafi.

Euis dijadikan pesakitan bersama dua PNS lainnya, yakni Djoko Walujo dan Olli faizol. Ketiganya diduga melakukan penyelewengan dana ganti rugi pembebasan lahan untuk proyek MERR II C. (Komang)

0 komentar:

Posting Komentar