Terus Kobarkan Semangat Perjuangan Arek-arek Suroboyo 10 Nopember 1945 untuk memberantas Korupsi, Terorisme dan Penyalahgunaan Narkoba

Senin, 18 September 2017

LSM AMAK Lapor Kejagung

Kasus BTKD Kedurus 16,4 Hektare Hilang



KABARPROGRESIF.COM : (Surabaya) LSM Aliansi Masyarakat Anti-Korupsi (AMAK) Jatim akhirnya melaporkan dugaan penyimpangan proses pelepasan tanah  Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) ke perorangan yang luasnya mencapai 16,4 hektar di Kedurus, Kecamatan Karang Pilang Surabaya ke Kejaksaan Agung Kegagung).

Ketua LSM AMAK, Ponang Aji Handoko, Minggu (17/9) mengatakan, alasan pelaporan, karena ada tengara cacat hukum dalam asal usul tanah tersebut. Menurutnya, tak masuk akal perseorangan memiliki tanah hingga berhektar-hektar.

“Keyakinan saya, itu didapat dari tanah ganjaran. Meski dalam sertifikat tertulis tanha yasan,” terangnya.

Ponang menyampaikan, laporan ke Kejaksan  Agung dilakukan, Jumat (15/9). Sesuai prosedur, setelah menerima laporan masyarakat, dalam waktu 10 hari Kejagung melimpahkannya ke Kejaksan Tinggi, kemudian ditindaklanjuti dengan pengumpulan data (Puldata) dan bahan keterangan (Pulbaket) dengan didukung data-dari Kejaksaan Negeri.

“Dari investigasi kami, saat pelepasan tanah per meter dinilai Rp. 6.400, sedangkan, harga pasaran pada tahun 1993 sekitar Rp. 65 ribu,” paparnya.

Ponang menegaskan, pihaknya akan terus mengawal proses hukum pelepasan tanah BTKD di Kedurus tersebut.

" Setelah 10 hari laporan, saya akan ke kejaksaan agung sudah dilimpahkan belum, sepuluh hari kerja janjinya (kejagung). " jelasnya.

Seperti diberitakan sebelumnya hilangnya aset Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya yang berasal dari tanah bondo deso atau bekas tanah kas desa (BTKD) di kedurus, kecamatan karang pilang surabaya tak hanya berupa waduk seluas 76.000 M2 namun juga tanah seluas 16.4 hektare.

Usut punya usut, disinyalir hilangnya aset berupa Bekas Tanah Kas Desa (BTKD) itu adanya kerakusan dari segelintir oknum yang ingin menguasai. Caranya dengan merekayasa tanda tangan.

Aksi nekat yang diduga dilakukan oleh Lembaga Ketahanan Masyarakat Kota (LKMK) setempat itu  dikarenakan adanya iming-iming yang cukup menggiurkan dari sebuah perusahaan swasta yakni PT AP.

Tak hanya oknum LKMK serta PT AP yang terlibat memuluskan mencaplok BTKD itu, disinyalir juga adanya kerja sama dengan pihak Rukun Warga (RW) setempat serta warga yang mengatasnamakan sebagai tokoh masyarakat setempat.

Kuatnya dugaan ini sebab, saat pengukuran BTKD itu, yang dilakukan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Surabaya, tepatnya pada tanggal 29 Desember 2015 tersebut tak berlandaskan hukum alias cacat hukum.

Samsul Hidayat selaku koordinator petugas ukur BPN Surabaya membantah keras bila prosedur kepemilikan tanah yang disengketakan itu tidak sesuai aturan. Menurutnya langkah yang dilakukannya itu sesuai dengan prosedur yakni dengan berdasar adanya bukti surat pernyataan persetujuan pengukuran tanah yang dibuat oleh Ketua LKMK Kedurus, Sutiyoso dan didukung 7 orang, ditambah lagi dengan Ketua RW 01 hingga RW 09 diantaranya Totok, Adi Effendi, M.Rifai, Prapto, Sumarsono, Thamrin dan Hary Suhargo serta tiga tokoh masyarakat antara lain, Landry Soebyantoro, Surya dan Rahmad.

”Justru surat itu dibuat dihadapan warga, setelah mendapat persetujuan dari yang bertanda tangan tersebut diatas, lalu BPN melakukan pengukuran silahkan saudara konfirmasi dengan mereka yang bertanda tangan di atas, insyaallah BPN akan kooperatif dengan Ombusmen,” tantangnya.

Namun keterangan Samsul Hidayat ini bertolak belakang dengan pernyataan Suryono yang mengklaim selaku tokoh masyarakat Kedurus. Kata Suryono tiga nama yang tercantum sebagai tokoh masyarakat dalam surat tersebut hanyalah 'abal-abal' alias palsu.

”Tiga orang tersebut bukanlah tokoh masyarakat, mereka adalah, anggota LKMK yang menjabat sekertaris, wakil dan anggota, itu hanyalah rekayasa Sutiyoso untuk menguasai tanah BTKD tersebut agar menjadi milik PT Agra,”tegasnya.

Suryono menjelaskan, sejak tahun 1999 silam, dirinya bersama 6 orang tokoh masyarakat diantaranya, Suyud, Kasimo, Suwoto, Rohmadi dan Syamsi selalu mempertahankan mati-matian tanah BTKD itu hingga ke BPN Pusat, DPR RI, sampai ke Mahkamah Agung.

“Seharusnya tanah yang diukur kemarin itu milik PT Agra Paripurna, bukan tanah BTKD  karena, sesuai dengan surat pemberitahuan pengukuran batas tanah dari BPN, Nomor:3983/200-35.78/XII/2015, yang mejelaskan bukan tanah BTKD,  kita masih berpegang pada surat rekomendasi dari Pansus DPRD Tahun 2002, yang menyatakan bahwa, pelepasan aset tanah BTKD tersebut, cacat hukum dan penuh rekayasa,” tandasnya. (arf)

0 komentar:

Posting Komentar